Mohon tunggu...
Komalasari Mulyono
Komalasari Mulyono Mohon Tunggu... lainnya -

F

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kujual Cah Bagusku kepada Nafsu Sakral (4): Babak Dimana Anak Terjual Mengutuk Ibu Durhaka

4 Oktober 2011   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:21 2423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Celoteh lugu dari mulut kambing tetanggaku, saling bersautan, membangunkanku. Ada rasa tak nyaman hinggap di setiap persendian, pegal. Lelehan panas mengalir dari kedua sudut mataku, keningku hangat. Bayangan Kresna meresahkan hati. “Kamu masuk angin tun ?”, gumam kang Su, tangannya meraba keningku. “ Nur, Menur “, kang Su memanggil anak nomor duaku. “ Ya pak “, Menur datang dengan patuh. Gadis ini lebih banyak mewarisi sifat kang Su yang kalem dan pendiam. “ Mbokmu masuk angin, kamu kerokin, aku ke sawah dulu “, kata kang Su lalu keluar dari kamar. Tanpa banyak bicara, Menur mengambil obat gosok dari atas sebuah meja kayu. Tangan gemulainya menyibak hati-hati pakaianku. Aku tengkurap. 5 goresan uang logam kunikmati dengan mata terpejam. Rasa demam yang membelenggu perlahan renggang. “ Tun “, panggil kang Su membuat berhenti goresan uang logam Menur. Kubalut tubuh atasku dengan kain jarik, lalu duduk. Kulihat mimik muka kang Su sangat serius. “ Warok Singo kemari “, bisik kang Su. “ oh “ Kusambar pakaian, merapikan diri sekenanya. Panas tubuh dan pegal badan raib sekejab mata. ***** Di atas kursi rotan kusam yang kubeli 12 tahun silam, duduk sosok gagah warok Singo. Di luar rumahku beberapa centeng ( kaki tangan warok ) berjaga-jaga. Bola mataku berlarian ke dalam dan ke luar, mencari sosok Kresna yang tak kutemukan bersama rombongan ini. “ Ho ho ho mbakyu Mistun, bertambah umur malah semakin muda, beruntungnya kangmas Sudharma “, sapa warok Singo. “ Ki warok bisa saja, di Jakarta tambah makmur sepertinya, sampai lupa kepada saya dan kang Su”, sindirku terbalut kecewa, kurasakan warok singo membatasi hakku sebagai ibu kandung dari gemblak klangenannya. Warok Singo tersenyum kalem, dibelainya tongkat berkepala burung merak beberapa saat. “Tambah susah mbakyu, 12 tahun berjuang antara hidup dan mati memperkenalkan reog kepada penduduk Jakarta, Indonesia dan luar negeri. Sampai saya lupa menghitung waktu, 12 tahun rasanya 12 hari, maafkan saya mbakyu”. Kalimat warok Singo sulit kucerna, 12 tahun 12 hari ?. Apa maksudnya?. Bukankah kontrak Kresna hanya 2 tahun ?. Tanpa meminta ijin padaku, dengan seenaknya dia memperpanjang waktu sampai 10 tahun. Selama itu, tak secuilpun berita kuterima dari dia. Sampai di sini aku menabrak sebuah kelicikan khas orang kaya, bukan orang sakti, yang terbiasa semena-mena kepada wong cilik. “ Langsung saja aki, perjanjian kita dulu itu bagaimana?, monggo, berikan saya pertanggung jawaban atas waktu 10 tahun yang tak ada dalam kesepakatan kita”. “ Mbakyu, tujuan utama saya kemari adalah menjaga tali kekeluargaan antara kita”, jawaban ini terkesan berkeliling, memusingkan, kata huh keluar dari bibirku. “ Mbakyu, tunggu dulu, ijinkan saya bicara. Sebagai ibunya Kresna , anak angkat saya sekaligus kekasih yang sangat saya tresnani (sayangi) , melebihi cinta saya kepada istri, hati saya remuk mendengar selentingan musibah yang menimpa mbakyu 10 tahun lalu “. Sebuah ungkapan simpati yang mencubit ramah tamahku. “ Saya ingin bertemu Kresna, itu yang sangat saya butuhkan saat ini”, kataku, membuat wajah warok Singo yang kuning langsat berubah menjadi lembayung. “ Mbakyu, Saya pikir mengembalikan derajat mulia keluarga mbakyu di masyarakat lebih penting daripada sebuah pertemuan antara keluarga mbakyu dengan Kresna “. Aku, kang Su dan Menur ternganga mendengar penjelasan yang kurang ajar warok Singo. “ Aki, warok dalam masyarakat Ageng Kuning adalah panutan, saya lihat aki telah gagal dalam hal ini “, kang Su bicara hati-hati. Warok Singo berdehem, wajahnya tetap datar. “ Orang yang mencelakakan kang Su sekeluarga telah berpesta kesenangan di atas penderitaan Kang Su sekeluarga selama 12 tahun, cukup. Saat ini, bisa saja saya mengembalikan Kresna , membayar tuntas kewajiban saya yang belum terbayar selama 10 tahun, sudah mampu membuat kang Su sekeluarga kaya, membuat orang-orang itu terusik kembali dengkinya .” Denda 10 tahun dari warok Singo membuat hatiku jelalatan. “ Tapi, saya ada usul. Diterima monggo, tidak diterima ya monggo. Saya akui. katresnan saya kepada Kresna sangat tinggi. Saya tak rela dia lepas dari saya, walau lepasnya ke ibu kandungnya. Saya siap bayar denda 10 tahun. Saya siap menuruti apa mau mbakyu dan kangmas , asal Kresna tetap bersama saya. “ Sebuah penawaran yang membilas bersih rinduku pada Kresna. Bayangan getir karena iri dari yu Dar, kelompoknya dan tetanggaku yang lain menggoda nafsuku memburu kehormatan. Aku gila menjadi kaya karena bosan dengan hinaan sebagai orang miskin. ***** Aku bahagia, Kresna bersama warok Singo tak bakal sengsara. Warok Singo meninggalkan rumahku dengan puas. Kang Su ke sawah. Menur kusuruh ke pasar. Sedangkan Mini belum kembali dari sekolah. Bungsuku ini semangat sekali dalam memburu ilmu. Bagiku, sekarang bukan beban. Mini mau jadi apa, aku siap menjadikannya. Di dapur, kubasahi kerongkonganku dengan meneguk air dari kendi ( wadah air dari tanah). “Mbok “ Aku tersedak dan batuk-batuk. Kubalikkan tubuh ke arah pintu pawon. Di sana berdiri seorang pemuda tinggi menjulang, parasnya tampan luar biasa. Matanya yang berhias alis panjang, laksana telaga barong, tenang, misteri dan ganas. “Kresnakah kamu ini ngger?” , tanyaku ragu. Dia diam, bibirnya yang merah menawan mengatup rapat. “Apakah ini mbokku?”, pertanyaan balik yang membuat hatiku sesak. “ Iya wong bagus, bertanya kok begitu sama orang tua, apalagi aku ini mbokmu. “ “ Mbok yang durhaka, aku mendengar semua yang mbok sepakati dengan bapak Singo “ Wajahku serasa meleleh oleh jawabannya yang panas membara bagi kupingku. “ Tapi demi kebaikan kita semua bukan ?”, tanyaku. Kresna mendekat, ketampanan parasnya kian nyata dimataku. “ Mbok tidak kangen padaku?. Aku kangen sama mbok, bapak, Menur dan Mini.” Aku kebingungan dibuatnya, pelukan rindu darinya sebagai anak aku tepis. “ Ngger mbok selalu sengsara sedari kecil. Tidakkah kau senang melihat mbok dan keluarga kita menjadi terhormat ?. Jangan berlama-lama di sini. Sebelum mata-mata warok Singo melihatmu menemui aku, segera pergi, urusan bisa gawat .” Kresna mencekal pundakku dengan kasar, membuatku terkaget. “ Kau adalah orang paling miskin, orang paling hina yang pernah kutemui. Makilah aku sebagai anak durhaka dan aku akan berteriak lebih kencang bahwa kaulah sesungguhnya yang durhaka.” Aku terkesiap atas jawabannya yang tak terduga . Harga diriku sebagai ibu telah di acak-acak olehnya secara membabi buta. “ Aku melahirkanmu dengan susah payah. Begini balasanmu?. Kau hidup enak, lalu kau menganggap tak pantas jika orang yang melahirkanmu hidup enak pula, terkutuklah dirimu. “ “ Kau lebih terkutuk dariku” “ Segera minggat dari rumahku, anak sepertimu tak kubutuhkan selamanya, minggat! “ Kresna melepaskan cekalan tangannya. Mendorongku dengan kasar. Aku terhuyung, hampir jatuh jika tak kugapai meja makan. “ Akupun tak butuh kau, Mistun. Kutukanku kepadamu sebagai mbok durhaka, cepat atau lambat akan menimpamu. “ Dia pergi begitu saja. Aku menangis sejadi-jadinya atas penghinaan yang kuterima barusan. Sebuah penghinaan paling berat sepanjang riwayat hidupku. Bersambung Dunia dalam Bungkus Cinta Mati dan Cinta Hidup Cinta menempati urutan paling atas dalam kebutuhan hidup manusia. Sumber denyut yang super luas dan super dalam. Selalu membuat kita kelaparan, tak kenal kenyang dibuatnya Menu yang tersaji dari kedai cinta semesta hanya dua, yaitu : 1. Cinta hidup. Cinta yang kita berikan kepada semua benda berjiwa. Karena sifatnya berjiwa maka dia akan melestarikan dan menjaga menuju arah pelestarian, mewujudkan keindahan dalam keseimbangan. Di ujung bentuknya adalah keagungan hakiki. 2. Cinta Mati Cinta yang selalu kita letakkan pada benda-benda mati. Karena sifatnya tak berjiwa, seringkali cinta jenis ini membabi buta. Dia beku, dingin, panas dan menyakitkan, karena sepak terjangnya tak ada rasa dan pandangan, layaknya benda-benda yang mempunyai jiwa. Di ujung bentuknya adalah kerusakan. Dua menu yang tersaji bagaimanapun adalah pilihan bagi kita. Sebagi makhluk yang selalu butuh cinta bagaimanapun keadaan wujud kita. Salam. NK. Sari Kujual Cah Bagusku Kepada Nafsu Sakral ( 1 ) Kujual cah Bagusku Kepada Nafsu Sakral (2) Kujual Cah bagusku kepada Nafsu Sakral (3) Hangusnya Harapan Anak Bawang di Wilayah Mesum

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun