Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya

21 April 2018   18:29 Diperbarui: 21 April 2018   18:37 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Derai angin yang mengelus-elus daun pohon pinus dan gemerlap cahaya matahari yang sesekali singgah ke tanah apabila kerapatan reranting pohon pinus itu disibak angin, perlahan membisikkan kalimat bangunlah kepada anak perempuan tersebut. Anak perempuan itu mengernyitkan dahi dan mengusap-usap matanya. Bola matanya kemudian berbinar seraya memancarkan gemerlap kelembapan yang kristalnya merespon kalimat asri yang disampaikan gesekan dedaun dan suara serangga-serangga. Tawanya meledak. Rambutnya panjangnya terurai tertiup angin yang berlawanan dengan arah berlarinya.

"Hutan pinus ...! Haaaaa ...!"

Ia berteriak dan berlari. Menginjak beberapa ranting yang berserakan di sana. Berputar-putar seperti revolusi Bumi mengitari pusat Tata Surya. Kemudian ia merebahkan tubuhnya ke rumput yang terhaampar di sana. Meregangkan seluruh tubuhnya dan tertawa lagi. Beberapa buah pinus yang tersebar di kiri-kanan tempat ia merebah ditatapnya sejenak, disentuhnya, diambil dan kemudian ditatapnya dan dicondongkan ke arah matahari sembunyi di balik rimbun dedaunan pinus. 

Disimpannya perlahan ke tempat semula. Ia memejamkan matanya, menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. Ia bangun dan berlari kembali. Kali ini ia melihat sepetak lumut yang menempel di batang pohon pinus. Diatatapnya tiap helai rambut lumut yang semula berpendar dan kini terhalang oleh bayangannya. 

Ia melihat sekeliling---ke dahan-dahan pohon pinus, ke tanah berhumus di sekitar kakinya, ke jejak-jejak kaki yang tertinggal di belakangnya, ke seekor burung yang bercericit merdu di telinganya, juga ke batu kerikil yang nampak bertanya-tanya siapa dirinya.

Kabut tipis muncul dari bagian atas hutan, dan membuat anak perempuan itu memutus telisik pada selainnya. Ia kagum tapi sekaligus gemetar sebab hutan yang semula terang benderang tiba-tiba menjadi gelap. Tak ada siapa pun di sini yang bisa ia ajak bicara---meredam gelisah. Kabut yang semula tipis kini bergumpal-gumpal seperti wedus gembel hasil erupsi gunung Merapi. Semakin dekat, mencapai kakinya, juga seluruh tubuhnya. 

Tiba-tiba hawa dingin menelusup kulit dan daging, serta mencapai tulang belulang---menusuk-nusuk hingga linu. Bulu kuduknya berdiri, bibirnya bergetar, hidungnya mengeluarkan cairan yang tidak terlalu kental saking dinginnya. Burung yang sejak tadi bercericit itu mengepak sayap, pergi menembus kabut yang semakin menebal. 

Orkestra serangga-serangga berhenti memainkan alat musik---menyisakan hening yang teramat mencekam. Anak perempuan itu menutup matanya dan di hatinya berteriak-teriak Nenek ...! Aku takut ...! dan membuka matanya perlahan, kemudian menutupnya dengan cepat ketika telah terbuka.

Hutan pinus itu telah utuh tertutup kabut. Jarak pandang anak perempuan itu tidak lebih dari tiga meter. Kabut di hadapan wajahnya semakin pekat. Seperti membentuk motif wajah manusia, lelaki. Ketika mata anak perempuan itu dibuka, ia terperanjat bukan kepalang berhadapan dengan kabut yang membentuk wajah seorang lelaki itu. Namun, tubuhnya benar-benar seperti disekap dan tak memiliki daya untuk berlari.

"Cahaya ... cahaya ... cahaya ...!" suara seorang lelaki tua berwibawa menggema di hutan itu.

Anak perempuan itu semakin gemetar dibuatnya. Sekarang tangan dan tengkuknya ikut bergetar mengikuti bibirnya yang bergetar lebih awal---karena hawa dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun