Mohon tunggu...
Candrika Adhiyasa
Candrika Adhiyasa Mohon Tunggu... Guru - Orang biasa

pelamun, perokok, kurus, agak kepala batu, penikmat sastra terjemahan dan filsafat. Instagram dan Twitter @candrimen

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cahaya

21 April 2018   18:29 Diperbarui: 21 April 2018   18:37 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun begitu antusias menyimak cerita neneknya yang selama ini menggantikan kewajiban orang tuanya yang entah di mana. Cerita yang dengan detail menjelaskan keindahan hutan pinus yang tubuhnya dibalut selendang kabut yang ketika dihirup seketika merubuhkan semua penat di kota metropolitan tempat mereka berdua tinggal. Sudah berpuluh tahun lewat ketika neneknya bepergian ke tempat semacam itu bersama anaknya---bapak anak perempuan itu. 

Ruangan yang terbatas oleh tembok, jendela rumah yang menjadi bingkai bagi lukisan gedung tinggi, traffic light, tiang listrik yang kabelnya sudah kendor sampai ke jalan aspal, teriakan supir angkot ketika traffic light beranjak hijau dan pengendara di depannya malah asyik mengantuk, sobekan-sobekan kertas koran yang ditiup angin, dan segala hiruk-pikuk ruang metropolis lainnya. Semua dinamika itu selalu bisa ditembus mata sang nenek untuk memvisualisasikan kenangan yang ketika itu begitu memanjakan indranya, juga batinnya.

Anak perempuan itu benar-benar kagum kepada apa yang diceritakan neneknya, yang meskipun sebenarnya imajinasi anak perempuan itu bisa saja membawanya ke hutan pinus semacam yang diceritakan neneknya, tetap saja ia ingin merasakan berada di sana secara langsung.

"Kabutnya itu, Neng ...."

Begitu kalimat yang tak pernah diteruskan neneknya selain dengan senyum merona yang nampak begitu hanyut pada aliran kenangan dan dengan gidikan yang pelan. Sepasang mata yang sudah tak sejeli dahulu, selalu mampu meniupkan ruh pada cerita yang dituturkan pada cucunya.

Alunan Sabilulungan berjingkrak dari kamar neneknya menuju ke gendang telinga anak perempuan itu. Ia jadi teringat ketika beberapa bulan lalu diajak neneknya ke luar kota untuk menghadiri pernikahan cucu dari anak sulungnya---kakak bapak anak perempuan itu. Musik ini juga mengingatkan ketika anak perempuan itu menangis histeris ketika diberi sepotong daging rendang sapi sebab selalu teringat darah yang mengalir deras dari leher sapi yang disembelih Bapak Danu di kelurahannya. Ia benar-benar trauma menyaksikan itu, serta membuatnya tidak ingin memakan makanan yang 'dibunuh'.

"Hutan pinus itu begitu tenang. Hawanya benar-benar segar. Tidak seperti di sini," selalu kalimat itu yang sepertinya merusak suasana ketika neneknya begitu asyik bercerita tentang hutan pinus. Seandainya bisa, ia tidak ingin tinggal di kota semacam ini, apalagi mengingat usianya yang sudah bisa dikatakan senja. Ia ingin tinggal di pedesaan dengan nuansa semacam itu, seperti yang selalu diceritakan kepada cucunya.

Anak perempuan itu menyusup kembali ke imajinasinya. Ia memang sepakat dengan neneknya bahwa tempat semacam ini---kota metropolitan, memang bukan tempat yang nyaman untuk ditinggali. Ketika berbagai macam orang justru berbondong-bondong menuju kota disebabkan tekanan ekonomi, mereka justru ingin mengasingkan diri ke belantara hutan pinus dengan masyarakat yang begitu murah senyum. Tidak seperti di sini!

Anak perempuan itu terperanjat kembali ketika mendengar telepon berdering. Neneknya mengangkat telepon itu. Didengarnya sang nenek berbicara dengan pamannya. Sang nenek berdiam sejenak mendengarkan perkataan pamannya itu. Tiba-tiba terdengar sang nenek bersikeras meminta untuk pindah rumah ke sebuah desa. Neneknya merasa mampu menyekolahkannya dengan uang pensiunan yang meskipun sudah dipotong oleh hutang dan bayaran lainnya, masih memiliki nominal yang lumayan.

Anak perempuan itu tidak terlalu mempedulikan isi percakapan neneknya dengan pamannya di telepon. Ia hanya membayangkan berada di suatu tempat -- tentu bukan di sini, dan tinggal di sana. Bermain bersama di bawah teduhnya bayangan rimbun dedaun, memasukkan lengannya ke air irigasi pertanian yang mengalir, mengambil bekicot yang menempel di hawangan, membaringkan tubuh di hamparan rumput, dan juga menyapa kabut yang tak pernah selesai dijelaskan oleh neneknya selain dengan isyarat wajah yang melukiskan kekaguman.

Alunan Sabilulungan yang mengalun melalui DVD dan TV jadul di kamar neneknya itu masih mengalun, kemudian membenamkan anak perempuan itu menuju sebuah lorong di alam pikirannya. Tembok rumah yang berserat karena catnya kering, angklung yang menggantung, bingkai foto dengan gambar yang sudah pudar oleh waktu, jam dinding dengan ukiran burung garuda di atasnya, seperti tersedot semacam lorong. Anak perempuan itu memejamkan matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun