Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Seni Rontek, Kebersamaan dan Pemersatu Warga

16 Agustus 2015   08:36 Diperbarui: 16 Agustus 2015   08:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pacitan, 15 Agustus 2015

Jalan berkelok dan banyaknya tanjakan serta turunan dari arah Pacitan ke Gunung Kidul membuat perjalanan menjadi mundur dan terlambat. Dari rencana sampai di Wonosari jam 7-an malam menjadi mundur, ketika menaiki tanjakan Sedeng (barat Kota Pacitan) jam sayup-sayup adzan Isya sudah dikumandangkan dari kejauhan. Dan saya pun harus menepikan kendaraan untuk mencari masjid dan tempat makan. Beruntung di sekitar tanjakan tersebut ada rumah makan sederhana, murah, dan luar biasa pemandangannya bisa melihat Kota Pacitan di malam hari mirip kota bintang (ceritanya akan saya ceritakan di lain kesempatan)

Pada waktu makan, sayup-sayup terdengar tetabuhan mirip ketika membangunkan orang sahur di bulan Ramadhan, tetabuhannya rancak diiringi orang yang menyanyi. Namun, sebentar kemudian dari arah yang berlawanan juga ada lagi dan sangat mirip. Lagu-lagunya lagu Jawa dan sesekali lagu perjuangan. Dan ketika jam sudah menunjukkan jam 8 malam, suara-suara tersebut bersautan membuat tebing curam tempat saya makan menjadi pantulan suara-suara tersebut. Penasaran semakin jadi, perjalanan pun saya lanjutkan. 

Sepanjang jalan di sekitar wilayah Kecamatan Pringkuku banyak dijumpai orang bergerombol di pinggir jalan. Mereka terdiri dari puluhan bahkan mencapai angka 100 orang lebih. Saya tidak berhenti, namun memelankan kendaraan karena jalanan banyak orang yang sedang berlalu-lalang, banyak lelaki yang berkalung sarung dan membawa kentongan dari bambu. Begitu juga para ibu-ibu dan remaja, meski cuma berdaster mereka ikut menggerombol.

Sepanjang perjalanan antara Sedeng sampai Pringkuku sudah saya temui hampir 10 group (orang bergerombol). Rasa penasaran ini membuat saya menepikan kendaraan dan mendekat untuk menanyakan ada apa atau apa yang terjadi.

"Dari mana?" tanya lelaki gemuk yang berseragam hansip.

"Mas mata-mata dari kampung sebelah ya...," tanyanya lagi agak keras.

"Ndak Mas, saya dari Ponorogo kebetulan sedang lewat mau ke Jogya, memangnya ada apa mas kok ramai sekali?" jawab dan sekaligus tanya saya.

"Besok mau lomba, ini sedang latian rontek, saya kira sampeyan orang dari kampung sebelah yang memata-matai lantihan kami...," jawabnya.

"Boleh saya menonton dan mengambil gambar, Mas?" minta saya. Dia tidak menjawab, hanya menggangguk sambari tangannya mengarahkan saya untuk mendekat ke arah kerumunan.

Mereka adalah warga Dusun Blimbingan Desa Blimbingan Kecamatan Pringkuku Pacitan berkumpul di depan kantor dusun untuk berlatih rontek, yang akan dilombakan sehabis upacara 17 Agustusan lusa. Mereka terdiri lelaki dan perempuan, tua muda berpakaian seadanya, ada yang cuma pakai daster, sambil berkalung sarung khas orang desa, baju tidur, pakai jarit, pakai kolor maklum mereka masih latihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun