Hari mulai gelap sesampainya di pantai Kasab Pacitan. Mendung menggelayut, sehingga sunset yang kami kejar tak kami dapatkan. Kami berdua hanya duduk-duduk di batu di bukitnya Kasab sambil menikmati sebisanya yang ada.
Gugusan pulau kecil di sisi barat terlihat mirip anak-anak pulau, dan bukit tempat kami duduk mirip induknya. Jadi gak salah jika orang sering menyebut Pantai Kasab sebagai Raja Ampat-nya Pacitan.
Sayang situasi kemarau membuat rumput dan dedaunan menjadi menguning bahkan mengering. Mungkin kalau sudah musim penghujan gugusan akan hijau begitu indahnya.
Sisi barat adalah kawasan pantai Watu Karung dan gugusan pulau pulau kecil, sisi selatan lautan bebas dengan ombak yang menderu apalagi mendekati malam.Â
Sisi timur adalah lahan warga yang mulai disulap menjadi lahan parkir dan jalan akses menuju tempat kami berada. Sedangkan sisi utara berupa sungai yang bermuara ke laut.
Sayup-sayup dari sisi barat laut (Watu Karung) terdengar Shalawat Tarhim dengan merdunya dari TOA masjid. Suasana terasa begitu damai, meski sepi hanya kami berdua yang nampak di pantai. Mungkin suasana puasa sehingga para pemburu sunset enggan datang.
Untung di perjalanan tadi kami sempat beli nasi dan minum buat berbuka. Tak lama kemudian azan magrib terdengar, dan kami berbuka seadanya. Minum air putih dan makanan ringan, nasi akan kami makan setelah sholat magrib.Â
Kami turun dengan hati-hati, hari mulai gelap dan flash ponsel buat penerang. Kami saling berpegangan tangan, di terjalnya bebatuan.
Pak Kasdi namanya, dia menceritakan ada salah satu keluarga yang dia antarkan ke pantai Kasab ini hilang 2 tahunan yang lalu. Tidak tahu hilangnya ke mana tiba-tiba tidak pulang, sudah usaha dicari ke sana ke mari belum ada hasil.Â
Terus berdoa dan berharap dengan berbagai cara agar anggotanya segera ada kabarnya. Kedatangannya ke pantai ini dengan maksud, berserah diri pada Allah atas usaha, doa dan selebihnya pasrah pada pencipta apapun hasilnya akan dia terima.
Ini puncak kepasrahan katanya, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, semua milik Allah dan akan kembali ke Allah kami pasrahkan ke Allah." ungkap pak Kasdi. Dengan cara begini berharap keluarga segera bisa segera bisa menerima keadaan, apapun keadaannya sehingga tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Dipilihnya laut untuk acara ini menurut pak Kasdi, laut adalah lambang kesabaran yang tak terbatas, laut adalah ibarat luasnya maaf, luasnya dan dalamnya ketabahan. Laut adalah kedamaian, tempat datang air datang dan pergi.
Pak Kasdi berharap, keluarga yang diantarkan ke pantai Kasab berhati laksana samudera yang mampu menampung setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan tak lama-lama larut dalam kesedihan.
Kami segera mandi dan tunaikan sholat magrib. Kami baru sempat membukan bekal nasi berbuka di gardu diperjalanan pulang. Kami lanjutkan perjalanan sembari menunggu sholat isya dan tarawih dengan mencari masjid yang ada di sekitar jalan yang kami lalui. Di daerah Pringkuku kami tunaikan sholat isya dan tarawih.
Banyak makna yang kami dapatkan dari pantai Kasab, kami saling diskusi dalam perjalanan. Tentang pertemuan, tentang kehilangan. Tentang usaha ikhtiar, doa, tawakal, dan kepasrahan. Tidak gegabah buru buru melebeli musrik atau syirik pada orang lain biarlah itu wewenangnya Allah.Â
Tentang usaha mendapatkan kedamaian, penerimaan, serta bagaimana membantu lain sebaik mungkin seperti cerita pak Kasdi. Saya jadi teringat pesan guru saya, "Atimu kudu iso kaya samudera, apa wae sing teka bisa ketampa mlelep kanthi tenang, sing akhire dadi menungsa ora kagetan".
Mungkin kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, jadikan hatimu seluas samudera. Apapun yang datang akan diterima dan ditenggelamkannya dengan tenang. Sehingga tidak gampang terkejut terhadap kejadian apapun, baik senang atau tidak senang.Â
Sesampainya di Ponorogo ternyata memory card kamera saya hilang, entah jatuh di pantai, masjid, atau gardu tempat berbuka puasa. Di dalamnya ada dokumen-dokumen kantor dan foto penting.Â
Saya sempat bingung, tapi percaya kalau masih rejeki saya pasti bisa ditemukan. Seminggu kemudian saya sendirian kembali ke pantai Kasab, menulusuri tempat-tempat yang sekira tempat terjatuhnya barang yang saya cari.Â
Dia carikan mobil pikup untuk mengangkut motor ke bengkel. Saya diajaknya ke rumah dia untuk berbuka puasa dan sholat magrib, sementara temannya yang bengkel membetulkan motor saya.Â
Saya cerita kan pengalaman saya dan tujuan ke Watu Karung ini. Saya teringat teryata gardu tempat kami berbuka berasa tak jauh dari rumahnya. Selesai magriban saya pinjam motor bergegas ke gardu.
Yaa Allah... Ternyata barang yang saya cari terjatuh di bawah gardu. Barangnya masih utuh, hanya lecet lecet bekas terinjak-injak. Alhamdulillah bisa masih jadi rejeki saya.Â
Mas Kirin orang yang menolong saya menanggapi, kalau orang hilang yang saya ceritakan tersebut sudah diketemukan. Dia ternyata pergi ke Malaysia, sudah ngasih kabar keberadaannya. Dan pak Kasdi ternyata tetangga mas Kirin yang dianggap sesepuh desa setempat.Â
Dari situ saya dan mas Kirin sekarang seperti saudara, kami saling mengunjungi dan kirim kabar.
Hikmah puasa yang luar biasa, Pantai Kasab, hilang, dan kembalinya memori.Â