Mohon tunggu...
Nanang Diyanto
Nanang Diyanto Mohon Tunggu... Perawat - Travelling

Perawat yang seneng berkeliling disela rutinitas kerjanya, seneng njepret, seneng kuliner, seneng budaya, seneng landscape, seneng candid, seneng ngampret, seneng dolan ke pesantren tapi bukan santri meski sering mengaku santri wakakakakaka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Kehidupan pada Pak Fendy Siregar

5 Oktober 2016   14:13 Diperbarui: 5 Oktober 2016   19:10 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Fendi Siregar di pasar burung Tonatan Ponorogo

Subuh baru saja usai, namun pasar Songgolangit sudah riuh oleh pedagang dan pembeli yang sibuk bertransaksi. Pasar yang nyaris buka 24 jam, pasar yang tidak pernah tidur meski hari raya sekalipun.

Di balik riuh pagi itu dua lelaki setengah baya sedang asyik dengan  kameranya.

"Pak Fendi...." Sapa saya pada salah satu lelaki tersebut.

Lelaki berambut putih tersebut menoleh ke arah suara yang memanggilnya.  Sayapun segera mendekat menyalami beliau, kebetulan pagi tersebut saya sedang mengantar istri berbelanja.

Sehari sebelumnya saya sudah berkenakan dengan beliau di rumah Mbakyu Kantri, rumah tempat teman-teman Beku berkumpul.

"Kok hanya berdua pak?" Tanya saya. Karena sehari sebelumnya kami berjanji akan mengantarkan beliau blusukan, istilah beliau pada kami.


“Ndak mas.. pasar ini kan deket dengan hotel, Cuma jalan sebentar sudah  jawabnya sambil makan yang dibungkus daun pisang.

“Kerso kopi pak?” Tawar saya, karena tak jauh ada kopi lesehan legendaris kopi Mbah Tekluk.

Rupanya beliau penasaran, segera saya berjalan duluan agar terlihat kemana arah melangkah. Maklum hari masih gelap dan pasar ramai.

[caption caption="akrab dengan sesama penikmat kopi"]

[/caption]

Pagi itu warung sedang ramai, para pembeli duduk sekenanya. Ada yang di bangku ada yang lesehan di bawah memakai dingklik.

Sebentar kemudian pak Fendi sudah akrab dengan sesama pembeli kopi. Saya melihat halus tutur katanya dengan kehati-hatian dalam bicara, namun tak mengurangi keakrabannya.

“Sopo mas ?” Tanya pak Bagyo yang barusan ngomong banyak dengan pak Fendi.

“Tamu dari Jakarta pak Bag..” jawab saya. Kata pak Bagyo pak Fendi menanyakan pasar mana yang ramai hari itu.

Setelah selesai minum kopi dan mencicipi jadah bakar kami segera berpamitan pada pemilik warung dan para pembeli yang ada di sekitar kami.

“Kita kemana pak?” tanya saya.

 “Langsung pasar burung aja mas...” jawabnya. Rupanya pak Bagyo tadi sudah memberi tahu pasar mana yang sedang pasaran.

Segera saya carikan becak untuk beliau berdua, sementara saya dan istri mengikuti dengan motor.

[caption caption="memotret unggasctanpa membuat takut unggas"]

[/caption]

Sesampai di pasar burung beliau asyik menyapa para penjual dan pengunjung. Sementara beliau terus memainkan kameranya, tanpa mengganggu orang yang diajaknya bicara. Begitu juga ketika melewati tempat unggas, beliau langsung memotret tapi tak terkesan memotret. Luar biasa beliau memotret burung tapi burungnya tetap saja diam tidak menyadari kedatangan pak Fendi.

Saya penasaran segera mengeluarkan kamera, baru saja akan memotret burung-burung yang di sangkar kelabakan. Pak Fendi pakai doa rapalan?? Wakakaka

[caption caption="pak Fendi lelaki berkalung kamera"]

[/caption]

Saya terus mengamati pak Fendi dari jauh, saya lihat cara berjalan beliau, pelan dan setiap langkah-langkah seperti tak bersuara. Pijakan kakinya seperti menapak bagian tungkai duluan, tapi entah lah ini hanya penglihatan saya saja. Tapi benar seperti mengendap-endap namun gestur tubuhnya tetap tegak, sehingga tidak membuat kaget orang.

Saya memberanikan diri mendekat, berusaha mencari tahu apa dan cara menjepretnya.

“Jam segini itu bagus-bagusnya warna, matahari belum terlalu keras bersinar kita bisa dapat dimensi mas...” jelas beliau.

“Kita ambil ekspresi wajah orang, separoh gelap dan separoh terang ambil batasnya pada garis muka...” kata pak Fendi sambil memperlihatkan hasil jepretannya.

“Kita belajar menangkap ekspresi...” jelasnya lagi. 

[caption caption="suasana pasar"]

[/caption]

[caption caption="takut-takut"]

[/caption]

[caption caption="jagoan"]

[/caption]

[caption caption="tawar menawar"]

[/caption]

Beliau mengajarkan bagaimana mengamati dan mengabadikan perilaku orang sehari-hari. Tak hanya kehidupan yang jamak namun lebih spesifik. Bagaimana menangkap ekspresi, misal saat orang sedang senang, bersedih, menderita, tekun dan sebaginya. Juga memikirkan tempat  di mana subjek berada.

Beruntung saya bertemu beliau, dan malamnya beliau masih menyempatkan diri untuk memberikan pelajaran tentang bagaimana human interest dan stretphotograpy di mall tempat teman-teman Beku mengadakan pameran photography. Beliau juga mengajak teman-teman Beku mengunjungi sesepuh reyog dan pelaku seni tempo dulu. Beliau mengorek cerita bagaimana sial muasal reyog dan budaya Ponoragan dari berbagai sumber. Masjid tua Tegal sari dan rumah adat Ponorogo juga tak luput dikunjunginya.

Sayang keesokkan harinya beliau dan Pak Pri harus segera balik ke Jakarta, karena tugas beliau. 

Dalam pesan WA beliau berjanji akan datang lagi ke Ponorogo, mengunjungi dan berbagi lagi.

Sampai bertemu di lain kesempatan pak Fendi, terima kasih juga pak Pri atas hadiah nya di Grebeg Syuro. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kelancangan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun