Berkali-kali ditanya si penjual akan langsung menjawab bila pertanyaan memakai bahasa Indonesia, dan merasa jengkel bila ditanya dengan bahasa Jawa. Saya terus mengamati kelucuan ini.
Ketika si Ibu berlalu saya mengikuti dari belakang sambil bertanya, "Pripun bu rasane penak gatele sudo?."
"Sudo piye rasane koyo wedangen, rasane koyo diremashon...." jawabnya, gatalnya tidak bergurang namun rasanya tambah parah seperti di kasih remashon.
"Aku cuma njajal mas mbok menowo jodo, saben enek wong dodok konokan mesti tak jajali janggere ra mbayar..." katanya lagi, dia cuma mencoba, hampir saban hari ada pedagang mirip penjual ini dia selalu mencoba asal gratis.
"Sampeyan kenal to bu?" tanya saya.
"Yo kenal la podo wong pasare, wis biasa iki macak warok, sesuk jas-jasan, suk embek macak koyo turis ngeneiki..." katanya lagi, dia mengenal karena sesama orang pasar, hari ini berpakaian warok, besok memakai jas, dan lusa bercelana pendek seperti turis.
"Wong golek pangan mas, ben sak karepe timbang nyolong utowo maling...." jelasnya lagi, orang cari makan biarkan saja, dari pada mencuri atau menjadi maling.
Tak kalah pinter si penjual mengeluarkan senjata mirip parang katanya ini asli dari suku pedalam, perhatian orang langsung tertuju pada benda tersebut. Dia lalu menawarkan obatnya lagi, banyak juga para lelaki dan para tukang becak disekitarnya membelinya.
Obat tersebut berasal dari tumbuhan, kulit pohon, akar pohon serta minyak binatang yang ada di pedalaman Kalimantan, katanya sambil memperlihatkan poto-poto kumal tentang dirinya memakai pakaian adat tersebut. Mumpung dirinya sedang melewati Ponorogo katanya, karena belum tentu setahun atau 2 tahun lagi bisa bertemu dengannya lagi, imbuhnya.
"Dik wingi dodolan neng Purwantoro mas, tapi macake ora ngeneiki, aku yakin sing dodol yo wong iki...." kata penonton yang berada di dekat saya, kemarin di pasar Purwantoro ada yang jualan mirip ini tapi pakainya ndak begini.