Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Sarwan dan Hanacaraka!

26 Januari 2021   23:54 Diperbarui: 27 Januari 2021   10:59 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senin pagi, 25 Januari 2021, adalah hari terakhir Pak Sarwan --begitu kami menyebutnya-- menyelesaikan seluruh mandat Tuhan di dunia. Keluarga besar PC Persatuan Islam Padarincang kehilangan kembali satu tokoh kharismatik yang telah berjasa besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisasi ini. Tak lama sebelumnya (19/1), ustaz muda, Pak Sanwani, lebih awal mendahuluinya. Semua milik Allah SWT. dan akan kembali kepada-Nya.

Pak Sarwan adalah guru saya yang hebat. Saya "bersentuhan" dengan beliau sejak masuk sekolah tingkat tajhiziyah hingga tsanawiyah di Pesantren Persatuan Islam (PPI) 72 Padarincang. Di lingkungan kami, Pak Sarwan bukan sekedar guru yang tugasnya hanya mengajar di madrasah. Beliau adalah tokoh, aktivis sekaligus sesepuh dalam organisasi Persatuan Islam Padarincang.

Sepak terjangnya dimulai dari nol. Persis Gunung Buntung (PC Persis Padarincang) "lahir" di tahun 70-an tak lepas dari hasil kerja keras perjuangan beliau. Keringat, air mata dan darah menjadi saksi bagaimana kegigihan beliau dalam berhijarah. Hijrah dalam arti lahiriah dan batiniah.  

"Paham Persis" -untuk membedakan dari pemahaman keagamaan ormas Islam lainnya- lahir, tumbuh, dan berkembang di Gunung Buntung memiliki sejarah yang unik, dahsyat, dan penuh tantangan. Dalam konteks ini, saya pernah menyinggungnya dalam tulisan lepas di  Kompasiana.com (13/6/2020)  https://www.kompasiana.com/bungrifai/5ee426c5097f361e11723de3/menerjemahkan-gunung-buntung

Dari cerita Pak Sarwan, sebagai pelaku sejarah, kampung ini 'muncul' karena adanya para pendatang dari beberapa kampung lain di sekitarnya, seperti : Tambakan, Kaduwakap dan Eurih, yang kemudian menetap di sini. Banyak faktor penyebab, salah satunya adalah alasan keamanan dan kenyamanan dalam meyakini dan menjalankan idealisme ajaran (Paham Persis) yang tampak berbeda dalam memegang prinsip dan melaksanakan tata cara (kaifiyat) beribadah dengan masyarakat lain di sekitarnya.  

Tahun 60 akhir hingga 70-an awal, peristiwa bersejarah tersebut berlangsung. Sebuah masa yang tak bisa saya bayangkan bagaimana  'insiden' itu bisa terjadi. Ada pengorbanan yang begitu dahsyat, ketika sebuah keluarga terpaksa harus berpisah dengan saudaranya. Di sana ada pertengkaran fisik, kekerasan verbal, hingga intimidasi penghilangan nyawa antarsaudara dan antarkeluarga.

Pak Sarwan adalah bagaian dari sejarah di atas, selain ada beberapa tokoh yang sangat gigih dan konsisten memperjuangkan 'Paham Persis' di Gunung Buntung dengan segala konsekuensi, baik bagi pribadinya dan maupun keluarganya.  

Madrasah sebagai sentral pengetahuan agama menjadi titik awal pertumbuhan dan perkembangan organisasi ini. Pusat pengajian keagamaan untuk mendalami 'Quran-Sunnah' ada di madrasah ini. Dari madrasah inilah kemudian lahir kader-kader Persis yang berkontribusi besar terhadap eksistensi madrasah selanjutnya, yang hingga kini bisa dinikmati oleh generasi berikutnya, mulai dari tingkat dasar hingga menengah; RA, MI, MTs, dan Madrasah Aliyah (Muallimin).  

Kontribusi Pak Sarwan, ada di seluruh kegiatan organisasi di atas. Perjuangan beliau all out dari awal. Menjadi guru, pendidik, ustaz di madrasah, menjadi mudir di pesantren, menjadi ketua di PC Persis Padarincang, memberikan ceramah keagamaan dalam pengajian rutin Jumat, menginisiasi jaringan dengan kaum aghniya (donatur) untuk beasiswa puluhan santri Lampung, misalnya, yang tengah menuntut ilmu di Madrasah Persis Gunung Buntung, dan sejumlah kontribusi lainnya untuk kemajuan organisasi, baik dalam dakwah, pendidikan maupun sosial.

Hanacaraka

Intensitas "persentuhan" saya dengan Pak Sarwan dimulai sejak saya menjadi murid beliau di tingkat tajhiziyah (kelas persiapan, satu tahun lamanya, sebelum masuk madrasah tsanawiyah) hingga saya lulus dari madrasah tsanawiyah. Beliau adalah pengajar Basa Sunda. Satu-satunya pengajar yang sangat mumpuni dalam penguasaan materi tersebut.

Beliau sangat mahir. Saya tak pernah menemukan Guru Basa Sunda semahir beliau, saat itu. Saya tak tahu persis tentang latar belakang pendidikan beliau. Apakah beliau sebelumnya pernah mempelajari atau -setidaknya- pernah mempelajari kesusasteraan Sunda secara otodidak.

Yang saya ketahui, beliau adalah lulusan Pendidkan Guru Agama (PGA), satu angkatan dengan ayah saya, Madjadji, yang juga sahabat karib (sobat dalit) beliau saat menjadi pengajar (ustaz) di madrasah yang sama, Pesantren Persatuan Islam 72 Gunung Buntung. Persahabatan keduanya sangat dekat bahkan lebih dekat lagi. Saat ayah saya meninggal di tahun 2013, beliau terlihat sangat sedih dan merasa kehilangan. Demikian yang saya lihat dari bahasa tubuhnya dan saya dengar dari pengakuannya secara implisit.   

Tak ada beban atau kesulitan sedikit pun saat menyuguhkan materi pelajaran di depan para muridnya. Di kelas, dalam setiap pembelajaran, beliau kerap memeragakan dialog atau monolog seorang dalang ketika bermain wayang golek; kadang juga menyanyikan lagu-lagu Sunda (ngahaleuang), seolah seorang sinden yang tengah bernyanyi menemani sang dalang. Ringkasnya, kapasitas beliau dalam basa sunda dan kesusateraanya tak perlu diragukan. Sangat mumpuni!

Pak Sarwan adalah sosok diri yang sangat sederhana dalam berpakaian namun rapi. Indikator kerapiannya terlihat dari kemeja atau celana yang dipakainya memiliki garis lipatan bekas disetrika. Gaya bicaranya khas; sesekali terlihat berapi-api saat menyampaikan nasihat dan motivasi kepada santriwan-santriwati di acara pekanan, yaitu Baiat Pelajar Persis 72  (Apel Sabtu Pagi) di lapangan madrasah, yang kini menjadi halaman MA Persis.

Saya masih ingat, saat itu, bagaimana beliau mengajar. Serius dan sistematis. Serius dalam arti sesungguhnya. Meski materi yang beliau ampu bukan bagian dari mata pelajaran berbasis keagamaan yang menjadi prioritas pesantren (primer), beliau menyuguhkan materi yang diampunya tak main-main. Santri diwajibkan menguasai istilah-istilah Sunda, mulai dari sebutan untuk anak-anak hewan (misalnya, anak kuda disebut "belo", anak kebo disebut 'eneng", dst); sebutan bagi sarupaning kekembangan atau bunga dari beberapa tumbuhan (misalnya, kembang tangkil disebut "uceng", kembang kadu disebut "olohok", dst). Dan sejumlah materi lain yang beliau sampaikan kepada kami dengan tema yang beragam.

Khusus materi di atas, kami pun menghapal istilah atau sebutan untuk objek-objek tertentu dalam bahasa Sunda dengan serius pula, selain sangat menyenangkan juga. Karena dalam "perjalanan" pembelajarannya, kami menemukan sebutan-sebutan lucu dalam penamaan istilah-istilah tersebut, yang dapat membuat kami tertawa sendiri. Bahasa Sunda "memang" sangat kaya.

Kini, saya tak tahu apakah pelajaran Basa Sunda ini masih diajarkan di Pesantren Persis 72 (semua tingkat). Menurut saya, ia wajib dipelajari oleh setiap warga suku Sunda tanpa terkecuali. Mengenal dan memahami kearifan lokal berawal dari mempelajari bahasa dan kebudayaannya.     

Ada pun "sistematis" yang saya maksud di atas adalah pembelajaran yang beliau suguhkan kepada kami, sebagai santri, secara bertahap namun utuh, menyeluruh dan terpadu. Tak terburu-buru, sama sekali. Hal ini terlihat saat beliau mengajari kami aksara Sunda, yang mirip dengan aksara jawa kuna (ha na ca ra ka da ta sa wa la.., dst). Aksara Sunda adalah turunan dari aksara Pallawa yang mirip dengan ular atau cacing yang meliuk-liuk ke atas-bawah atau ke kanan-kiri dengan segala kerumitannya. Beliau ajarkan kepada kami dengan semangat dan penuh kesabaran hingga kami lihai dan pintar menulisnya. Luar biasa.

Saya mengenal aksara Sunda, baik penulisan dan pelapalannya, langsung dari beliau. Beliaulah yang mengajari kearifan lokal melalui bahasa lisan dan tulisan. Beliau adalah pejuang sejati yang mencurahkan segala pikiran, tenaga dan loyalitasnya untuk kemajuan Islam di bawah organisasi Persatuan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.

Hanacaraka yang diajarkan beliau mempunyai makna filosofis dan kearifan yang agung. Jika kita merujuk pada sejarahnya, Hanacaraka ini lahir dari sebuah legenda Ajisaka, seorang pemuda sakti yang diangkat menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan, yang menyesali perbuatannya sendiri. Karena atas perintahnya dalam satu insiden, dua orang abdi setianya, yaitu Dora dan Sembada tewas.

Penyesalan Ajisaka terus menghantuinya. Kemudian untuk mengenang dua orang abdi setianya tersebut ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna:

Ha Na Ca Ra Ka Ada sebuah kisah | Da Ta Sa Wa La Terjadi sebuah pertarungan | Pa Dha Ja Ya Nya Mereka sama-sama sakti  | Ma Ga Ba Tha Nga Dan akhirnya semuanya mati 

Ba(ha)sa Sunda adalah "warisan berharga" yang beliau bagikan untuk kearifan hidup. Mewarisi pengetahuan dan meneladani sosoknya yang luar biasa adalah sebuah cara bagaimana kita mengenang beliau dengan penuh cinta, hormat, dan takzim. Diawali Hanacaraka dan diakhiri Magabathanga. Kematian adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dielak "Sawala". Pak Sarwan adalah guru kami semua dengan cita rasa seni yang sangat baik. Kami bangga padamu. Selamat jalan, pak!

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun