Mohon tunggu...
Iip Rifai
Iip Rifai Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Penulis Buku PERSOALAN KITA BELUM SELESAI!, 2021 | Pernah Belajar @Jurusan Islamic Philosophy ICAS-Paramadina, 2007 dan SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, 2015

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pak Sarwan dan Hanacaraka!

26 Januari 2021   23:54 Diperbarui: 27 Januari 2021   10:59 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beliau sangat mahir. Saya tak pernah menemukan Guru Basa Sunda semahir beliau, saat itu. Saya tak tahu persis tentang latar belakang pendidikan beliau. Apakah beliau sebelumnya pernah mempelajari atau -setidaknya- pernah mempelajari kesusasteraan Sunda secara otodidak.

Yang saya ketahui, beliau adalah lulusan Pendidkan Guru Agama (PGA), satu angkatan dengan ayah saya, Madjadji, yang juga sahabat karib (sobat dalit) beliau saat menjadi pengajar (ustaz) di madrasah yang sama, Pesantren Persatuan Islam 72 Gunung Buntung. Persahabatan keduanya sangat dekat bahkan lebih dekat lagi. Saat ayah saya meninggal di tahun 2013, beliau terlihat sangat sedih dan merasa kehilangan. Demikian yang saya lihat dari bahasa tubuhnya dan saya dengar dari pengakuannya secara implisit.   

Tak ada beban atau kesulitan sedikit pun saat menyuguhkan materi pelajaran di depan para muridnya. Di kelas, dalam setiap pembelajaran, beliau kerap memeragakan dialog atau monolog seorang dalang ketika bermain wayang golek; kadang juga menyanyikan lagu-lagu Sunda (ngahaleuang), seolah seorang sinden yang tengah bernyanyi menemani sang dalang. Ringkasnya, kapasitas beliau dalam basa sunda dan kesusateraanya tak perlu diragukan. Sangat mumpuni!

Pak Sarwan adalah sosok diri yang sangat sederhana dalam berpakaian namun rapi. Indikator kerapiannya terlihat dari kemeja atau celana yang dipakainya memiliki garis lipatan bekas disetrika. Gaya bicaranya khas; sesekali terlihat berapi-api saat menyampaikan nasihat dan motivasi kepada santriwan-santriwati di acara pekanan, yaitu Baiat Pelajar Persis 72  (Apel Sabtu Pagi) di lapangan madrasah, yang kini menjadi halaman MA Persis.

Saya masih ingat, saat itu, bagaimana beliau mengajar. Serius dan sistematis. Serius dalam arti sesungguhnya. Meski materi yang beliau ampu bukan bagian dari mata pelajaran berbasis keagamaan yang menjadi prioritas pesantren (primer), beliau menyuguhkan materi yang diampunya tak main-main. Santri diwajibkan menguasai istilah-istilah Sunda, mulai dari sebutan untuk anak-anak hewan (misalnya, anak kuda disebut "belo", anak kebo disebut 'eneng", dst); sebutan bagi sarupaning kekembangan atau bunga dari beberapa tumbuhan (misalnya, kembang tangkil disebut "uceng", kembang kadu disebut "olohok", dst). Dan sejumlah materi lain yang beliau sampaikan kepada kami dengan tema yang beragam.

Khusus materi di atas, kami pun menghapal istilah atau sebutan untuk objek-objek tertentu dalam bahasa Sunda dengan serius pula, selain sangat menyenangkan juga. Karena dalam "perjalanan" pembelajarannya, kami menemukan sebutan-sebutan lucu dalam penamaan istilah-istilah tersebut, yang dapat membuat kami tertawa sendiri. Bahasa Sunda "memang" sangat kaya.

Kini, saya tak tahu apakah pelajaran Basa Sunda ini masih diajarkan di Pesantren Persis 72 (semua tingkat). Menurut saya, ia wajib dipelajari oleh setiap warga suku Sunda tanpa terkecuali. Mengenal dan memahami kearifan lokal berawal dari mempelajari bahasa dan kebudayaannya.     

Ada pun "sistematis" yang saya maksud di atas adalah pembelajaran yang beliau suguhkan kepada kami, sebagai santri, secara bertahap namun utuh, menyeluruh dan terpadu. Tak terburu-buru, sama sekali. Hal ini terlihat saat beliau mengajari kami aksara Sunda, yang mirip dengan aksara jawa kuna (ha na ca ra ka da ta sa wa la.., dst). Aksara Sunda adalah turunan dari aksara Pallawa yang mirip dengan ular atau cacing yang meliuk-liuk ke atas-bawah atau ke kanan-kiri dengan segala kerumitannya. Beliau ajarkan kepada kami dengan semangat dan penuh kesabaran hingga kami lihai dan pintar menulisnya. Luar biasa.

Saya mengenal aksara Sunda, baik penulisan dan pelapalannya, langsung dari beliau. Beliaulah yang mengajari kearifan lokal melalui bahasa lisan dan tulisan. Beliau adalah pejuang sejati yang mencurahkan segala pikiran, tenaga dan loyalitasnya untuk kemajuan Islam di bawah organisasi Persatuan Islam yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan.

Hanacaraka yang diajarkan beliau mempunyai makna filosofis dan kearifan yang agung. Jika kita merujuk pada sejarahnya, Hanacaraka ini lahir dari sebuah legenda Ajisaka, seorang pemuda sakti yang diangkat menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan, yang menyesali perbuatannya sendiri. Karena atas perintahnya dalam satu insiden, dua orang abdi setianya, yaitu Dora dan Sembada tewas.

Penyesalan Ajisaka terus menghantuinya. Kemudian untuk mengenang dua orang abdi setianya tersebut ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun