Mohon tunggu...
BungRam
BungRam Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati pendidikan, konsultan program pendidikan

Book lover, free traveller, school program consultant, love child and prefer to take care for others

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disiplin Tanpa Hukuman, Sekolah Bebas Bullying

16 Januari 2020   05:49 Diperbarui: 16 Januari 2020   06:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"..dan berkatalah kepada orang-orang dengan perkataan yang baik," (al Baqarah: 83)

Apakah seorang anak yang melakukan pelanggaran terhadap disiplin di sekolah menunjukkan bahwa  dia memang sulit untuk menjalani sebuah kehidupan yang berdisiplin, atau dari dalam dirinya lah sumber keinginan yang mendorongnya untuk melakukan pembangkangan atau pelanggaran?

Suatu pagi penjaga sekolah menghentikan langkah seorang anak murid di depan gerbang sekolah. Penjaga meminta anak itu menunggu kedatangan petugas dari guru untuk  mengizinkannya masuk ke area sekolah.

Petugas itu kita kenal dengan istilah guru BK atau guru yang menangani urusan disiplin dan kesiswaan, atau guru penegak disiplin sekolah dan siswa.

Beberapa menit kemudian petugas itupun datang, di depan gerbang bertambah jumlah anak yang datang terlambat, dan harus menunggu untuk mendapat izin dari guru. Pada beberapa kejadian, bahkan anak-anak yang terlambat lebih dari dua kali, tidak diperkenankan mengikuti pelajaran sekolah hari itu, hingga orangtuanya datang untuk menandatangani surat pernyataan.

Tentu itu adalah hukuman lanjutan yang menimpa anak dan juga orangtua. Anak mendapat surat peringatan, dan juga pasti omelan orangtua biasanya akan ia terima setelah itu.  Sementara orangtua merasa malu datang ke sekolah karena itu berarti satu anggapan, orangtua kurang perhatian terhadap disiplin sekolah sang anak.

Apakah hukuman semacam itu melahirkan perubahan perilaku, yaitu perilaku anak yang tadinya sulit untuk datang ke sekolah tepat waktu, menjadi perilaku disiplin datang ke sekolah tepat waktu?

Beberapa kejadian mungkin akan membuat anak jera dan malu datang terlambat ke sekolah. Bisa jadi orangtua juga semakin memiliki perasaan negatif terhadap anaknya, dan atau merasa malu atas pemanggilan terhadapnya oleh pihak sekolah.

Guru dan orangtua barangkali memandang bahwa sebagian besar dari apa yang kita anggap disiplin - memukul, memarahi, memberikan sanksi, mempermalukan, akan membantu anak-anak menjadi orang yang bertanggung jawab dan disiplin.  Orangtua menghukum supaya anak-anak belajar berperilaku.

Ketahuilah, bahwa  anak-anak belajar apa yang mereka jalani. Cara paling efektif untuk mengajar anak-anak adalah menjadi model kita, dan memperlakukan mereka seperti kita ingin mereka memperlakukan orang lain: dengan belas kasih dan pengertian. Ketika kita memukul, menghukum, atau berteriak, anak-anak belajar untuk bertindak agresif.

Bahkan 'timeout' - pengabaian simbolis -- seperti dikeluarkan dari kelas, memberi anak-anak pesan bahwa mereka sendirian dengan perasaan menakutkan mereka yang besar tepat ketika mereka sangat membutuhkan kita. Sebagai gantinya, guru bisa  menciptakan hubungan dan pola komunikasi dengan hangat, untuk membantu anak memproses perasaan yang menyebabkannya bertindak (melanggar).  

Itu tidak berarti kita mengingkari tanggung jawab kita untuk membimbing anak-anak kita dengan menetapkan batasan. Tidak berlari ke jalan, tidak mengganggu teman, tidak berteriak, tidak mengambil hak orang lain, tidak terlambat datang, tidak buang sampah sembarangan, tidak menyakiti hewan. Tetapi kita tidak perlu menghukum untuk menetapkan atau mengendalikan batasan seperti itu.

Apakah Anda bertanya-tanya bagaimana anak Anda akan belajar untuk tidak melakukan hal-hal ini lain kali, jika Anda tidak "mendisiplinkan" dia ketika dia melakukannya? Maka Anda berasumsi bahwa kita perlu menghukum anak-anak untuk "mengajarkan pelajaran."

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa menghukum anak-anak menciptakan lebih banyak perilaku buruk.

Jane Nelsen, ED. D. & Lynn Lott, M.A, M.F.T  dalam bukunya 'Positive Discipline A-Z -- 100 Solutions To Everyday Parenting Problems',  menulis tentang beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua atau juga guru tentunya di sekolah.

Untuk mengganti hukuman sebagai akibat yang harus diterima dari kesalahan anak (bisa jadi kesalahan anak tersebut adalah hasil dari kesalahan orangtua yang tidak tepat dalam melaksanakan pola didik dan pola asuh di rumah) dengan berbagai akternatif, dan latihan praktis yang sederhana, bukan sekedar uraian yang berfokus kesalahan dan cara mengatasinya, namun juga kepada pengetahuan tentang konsep diri, perilaku individu, faktor-faktor komunikasi dan berbagai hal lainnya.

Saya kutipkan di antaranya sebagai berikut:

a.  Pahami anak/murid Anda.

Apakah Anda mengenal betul siapa anak/murid Anda, daripada hanya tahu dari mana mereka, dimana mereka tinggal?
Anak memiliki karakter dan perilaku serta emosi yang jauh berbeda dengan orang dewasa. Dunia mereka dipenuhi dengan percepatan perubahan yang signifikan dari dalam diri mereka sendiri, baik secara fisik, kemampuan intelektual, maupun emosional.

Banyak hal yang kita anggap sebuah "perlawanan", pemberontakan atas perasaan terkekang karena aturan, adalah suatu kekeliruan fatal yang mesti kita  respons dengan sikap keras, dan ganjaran hukuman. Padahal  Di balik sebuah pelanggaran aturan oleh anak, seberapa jauh kita pahami latar belakang perilaku yang muncul? Perasaan apa yang dialami oleh anak sehingga ia melakukan "pemberontakan" tersebut?

Alih-alih  langsung memvonis anak yang terlambat dengan hukuman, ancaman, dan dipermalukan di depan kawan-kawannya, guru bisa mencari penyebab keterlambatan, memberikan solusi supaya keesokan hari tidak datang terlambat lagi.

b.  Ganti hukuman dengan informasi dan kesempatan untuk belajar dari kesalahan (self evaluation)

Dalam disiplin positif tidak ada hukuman, mengapa? Berdasarkan penelitian, hukuman adalah hal yang paling tidak menlahirkan hasil yang positif dari perubahan perilaku anak. Malah justru menimbulkan perasaan frustasi, sakit, dan dendam.

Anak yang terpaksa atau sengaja melakukan pelanggaran belum tentu memahami, bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah laku negatif, dan ia tidak tahu bahwa perolaku negatif, dan perilaku tidak terpuji akan memberikan dampak negatif, baik untuk dirinya ataupun orang lain karena perbuatannya.

Oleh karena itu, komunikasikan dengan jelas, bahwa perilaku buruk atau negatif, hanya akan berdampak negatif juga kelak.

Banyak orangtua atau guru beranggapan, hukuman menjadikan anak mudah diatasi atau dibawah kontrol mereka. Namun sesungguhnya untuk jangka panjang, mereka justru menciptakan ruang yang semakin besar terhadap hilangnya kontrol yang bersifat eksternal tersebut. Karena sesungguhnya kontrol diri anak yang paling kuat dan menetap jangka panjang adalah yang bersifat internal.

Karena anak sudah mengerti dan mampu mengevaluasi dirinya sendiri untuk memperbaiki perilakunya di masa mendatang.

c.  Ingat bahwa semua "kelakuan buruk" adalah bagian dari  ekspresi - betapapun kekeliruannya, dari hal yang bukan semestinya.

Itu beralasan, bisa jadi kita berpikir  itu tidak bagus. Perilakunya buruk? Dia pasti merasa sedih di dalam dirinya. Atau dia  sedang membutuhkan  banyak waktu untuk tidur, lebih banyak komunikasi dengan Anda, lebih banyak waktu istirahat, lebih banyak kesempatan untuk menangis dan melepaskan emosi-emosi yang membuat  kesal atau depresi? Oleh karena itu, penuhi  kebutuhannya  yang menyebabkan perilaku, maka kita dapat mengatasi perilaku buruknya.

Betapa banyak orang dewasa tidak memahami penyebab perilaku buruk yang timbul, karena ia tidak memahami kebutuhan yang sesungguhnya dari anak. Alih-alih orang dewasa memenuhi kebutuhan anak, malah menambah rasa sakit sementara kebutuhannya tidak terpenuhi.

d.  Ajari anak untuk memperbaiki kesalahan

Seorang murid tanpa sengaja memecahkan vas bunga di meja guru, bagaimana sikap guru pada saat itu?

Guru bisa memilih, ia akan memarahi anak, membentak, menyalahkannya karena keteledorannya yang mengakibatkan vas bunga jatuh dan pecah.

Guru bisa melakukan yang lebih baik dari itu, ia meminta anak membantu membersihkan pecahan vas bunga yang berserakan,  kemudian mengajaknya bicara, menanyakan keadaannya sehingga menyebabkan terjatuhnya vas bunga.  Kemudian guru mempersilahkan murid untuk memperbaiki kesalahannya dengan cara bertanggungjawab, guru boleh bertanya kepada anak, "bagaimana kamu mempertanggungjawabkan perbuatan kamu ini?" Bagaimana supaya nanti kamu tidak melakukan hal yang sama di rumah, atau di toko?"        

Dari kejadian ini, anak tidak merasa dipermalukan, ditekan karena kesalahannya yang tidak disengaja, namun anak diberi kesempatan memperbaiki kesalahan tersebut untuk selanjutnya.

e.  Hubungan dan kasih sayang adalah hal yang membantu anak-anak INGIN mengikuti arahan Anda.

Orangtua/guru hanya memiliki pengaruh dengan anak  ketika anak merasa terhubung dengan mereka. Dia hanya merasa terhubung ketika dia merasa dipahami, ketika kita merespons dengan belas kasih dan penerimaan daripada  penilaian. Tetapi belas kasih tidak hanya untuk anak Anda. Mulailah dengan diri Anda sendiri. Anda tidak bisa menjadi orangtua/guru  yang penyayang jika Anda merasa buruk tentang diri Anda sendiri, seperti halnya anak Anda tidak dapat bertindak "baik" jika dia merasa buruk tentang dirinya sendiri.

   [BungRam]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun