Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pengungsi Perang Bosnia yang Bermimpi Jadi Bek Terbaik Dunia

11 Juli 2018   22:25 Diperbarui: 12 Juli 2018   13:44 3166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Suasananya sungguh mengerikan. Kami mendengar suara sirine tanda bahaya. Ibuku terus menangis dan yang dapat kami lakukan hanya bersembunyi," kenang Dejan, bocah berusia tiga tahun tadi, dalam sebuah video dokumenter yang dirilis puluhan tahun setelah peristiwa kelam tersebut.

"Aku tidak tahu berapa lama kami duduk di sana (ruangan bawah tanah), kurasa sampai suara sirine mati," lanjut Dejan seperti dikutip laman Independent. "Itu adalah pengalaman yang tidak mungkin aku lupakan. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?"

Melihat situasi yang kian memburuk, Sasa meminta istrinya mengungsi bersama Dejan. Keluarga tersebut berdiskusi kemana mereka harus menuju. Akhirnya dicapai kesepakatan, mereka akan pergi ke Munich, Jerman. Di sana ada ayah Silva yang telah menetap lama.

Tanpa sempat mengemasi banyak barang, Silva mengajak Dejan pergi bersama seorang adik dan iparnya. Mereka berempat menumpang sebuah Zastava Koral, mobil mini yang lebih dikenal sebagai Yugo. Usai berkendara selama 17 jam dan melewati entah berapa pos pemeriksaan, mereka pun sampai di Munich.

Kehidupan baru pun dimulai. Silva dan Dejan, beserta adik dan iparnya, sejak saat itu berstatus pengungsi perang.

"Pergi ke Jerman merupakan sebuah keputusan besar yang diambil orang tuaku," kata Dejan lagi, seperti dikutip laman Joe.co.uk. "Kami pergi praktis tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang kami kenakan. Tidak ada tas-tas. Tidak ada apa-apa."

"Aku ingat saat kami datang ke rumah Kakek," lanjut Dejan. "Sebuah rumah kayu nan kecil. Sangat mungil tapi penuh dengan kehangatan cinta kasih. Kami bersebelas tinggal di sana selama tiga tahun."

Sasa tak ikut dalam rombongan kecil tersebut. Ia memilih tinggal di Bosnia selama beberapa pekan, sebelum kemudian menyusul ke Munich.

Dejan kecil nan imut-imut. FOTO: Tangkapan layar LFC TV
Dejan kecil nan imut-imut. FOTO: Tangkapan layar LFC TV
Tak Pernah Kembali

Sementara itu ketegangan di Bosnia-Herzegovina kian memuncak. Dari siaran radio di Munich mereka mendengar bahwa Zenica benar-benar jadi kota lumpuh dan terisolir. Tak ada aliran air bersih, tak ada listrik. Saling serang dan saling bunuh di tempat umum antara etnis Kroasia dan Bosnia semakin sering terjadi.

Sarajevo, ibukota Bosnia-Herzegovina, dikepung selama 1.425 hari (5 April 1992 - 29 Februari 1996) oleh pasukan Republika Srpska. Pertempuran ini saja menewaskan total 13.952 jiwa, termasuk 5.434 warga sipil. Korban terbanyak jatuh di pihak Bosnia-Herzegovina, yakni sebanyak 6.137 jiwa. Sedangkan Republika Srpska kehilangan 2.241 serdadu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun