Mohon tunggu...
Eko Nurhuda
Eko Nurhuda Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja Serabutan

Peminat sejarah dan penikmat sepak bola. Tulisannya pernah dimuat di Tabloid BOLA, BOLAVaganza, FourFourTwo Indonesia, detikSport, juga Jambi Ekspres, Telusuri.id dan Mojok.co. Sempat pula menelurkan beberapa buku seputar blog-internet. Kini berkecimpung di dunia novel online dan digital self-publishing.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pengungsi Perang Bosnia yang Bermimpi Jadi Bek Terbaik Dunia

11 Juli 2018   22:25 Diperbarui: 12 Juli 2018   13:44 3166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
FOTO: FIFA.com/Getty Images

SELASA, 11 Juli 1995, tepat hari ini pada 23 tahun lalu, sebuah pembantaian etnis nan keji di Eropa dimulai. Bertempat di Srebrenica, sebuah kota kecil di ujung timur Bosnia-Herzegovina dekat perbatasan Serbia, tentara Republika Srpska dibantu pasukan paramiliter Scorpions secara brutal mengeksekusi laki-laki etnis Bosnia yang berhasil mereka tangkap.

Kekejian tersebut berlanjut hingga 10 hari berikutnya. Tak kurang dari 8.372 jiwa jadi korban pembantaian tersebut. Setidaknya itulah angka yang tertulis dalam batu prasasti di kompleks Srebrenica Genocide Memorial di Potocari. Menjadikan tragedi ini, seperti kata Sekjen PBB Kofi Annan, sebagai upaya pembersihan etnis terbesar di Eropa pasca-Perang Dunia II.

Pembantaian yang dikenang dunia internasional sebagai Srebrenica Massacre atau Srebrenica Genocide ini menjadi babak paling kelam dalam Perang Bosnia (1992-1995). Perang ini meletus usai pemerintah Republik Sosialis Bosnia-Herzegovina, satu dari enam entitas dalam Republik Sosialis Federal Yugoslavia, menggelar referendum keluar dari federasi.

Etnis Serbia yang tinggal di negara tersebut menolak keras ide ini dan memboikot referendum. Ketika hasil referendum dimenangkan kubu prokemerdekaan Bosnia-Herzegovina, etnis Serbia membentuk Republika Srpska yang secara harfiah berarti Republik Serbia. Radovan Karadzic jadi presiden, dengan Jenderal Ratko Mladic sebagai pimpinan militer.

Tragedi dimulai ketika Ratko Mladic melakukan operasi militer untuk "mengamankan" teritori yang dihuni etnis Serbia. Konflik antaretnis meletus. Tentara Republika Srpska bertindak di luar batas. Secara membabi buta mereka turut membantai penduduk sipil. Target utamanya warga etnis Bosnia yang merupakan mayoritas.

Etnis Kroasia juga ikut diburu tentara Srpska. Namun karena jumlahnya tidak sebanyak etnis Bosnia, angka korban di pihak etnis Kroasia terlihat tidak ada apa-apanya. Situasi bertambah parah karena di beberapa tempat etnis Kroasia juga berkonflik dengan etnis Bosnia. Jadilah negara Balkan tersebut dirundung perang segitiga antar tiga etnis penduduknya: Bosnia-Herzegovina (44%), Serbia (31%), dan Kroasia (17%).

Pengungsi Bosnia di Tuzla, berfoto di dekat tank pasukan perdamaian PBB. FOTO: Imperial War Museums
Pengungsi Bosnia di Tuzla, berfoto di dekat tank pasukan perdamaian PBB. FOTO: Imperial War Museums
Jadi Pengungsi

Di antara warga etnis Kroasia yang 17% itu adalah keluarga Sasa Lovren. Keluarga kecil dengan satu anak tersebut tinggal di Kraljeva Sutjeska, sebuah desa tak jauh dari Zenica.

Nama terakhir merupakan kota terbesar keempat di Bosnia. Karenanya Zelica menjadi salah satu kota paling sengsara sepanjang Perang Bosnia. Utamanya setelah aliansi etnis Bosnia dan Kroasia pecah, dan keduanya justru saling serang di tengah ganasnya gempuran tentara Republika Srpska.

19 April 1993, sebuah bom dilepas dari desa Puticevo yang berjarak 15 km dari Zenica. Bom meledak tepat di pusat kota, menewaskan 15 jiwa dan melukai setidaknya 50 orang. Belum hilang kaget penduduk setempat, serangan di siang bolong itu berlanjut dengan jatuhnya bom-bom susulan.

Sirine tanda bahaya berbunyi. Silva, istri Sasa, bergegas menggamit Dejan yang tengah bermain. Dibawanya anak berusia tiga tahun tersebut ke ruangan bawah tanah, berlindung.

"Suasananya sungguh mengerikan. Kami mendengar suara sirine tanda bahaya. Ibuku terus menangis dan yang dapat kami lakukan hanya bersembunyi," kenang Dejan, bocah berusia tiga tahun tadi, dalam sebuah video dokumenter yang dirilis puluhan tahun setelah peristiwa kelam tersebut.

"Aku tidak tahu berapa lama kami duduk di sana (ruangan bawah tanah), kurasa sampai suara sirine mati," lanjut Dejan seperti dikutip laman Independent. "Itu adalah pengalaman yang tidak mungkin aku lupakan. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?"

Melihat situasi yang kian memburuk, Sasa meminta istrinya mengungsi bersama Dejan. Keluarga tersebut berdiskusi kemana mereka harus menuju. Akhirnya dicapai kesepakatan, mereka akan pergi ke Munich, Jerman. Di sana ada ayah Silva yang telah menetap lama.

Tanpa sempat mengemasi banyak barang, Silva mengajak Dejan pergi bersama seorang adik dan iparnya. Mereka berempat menumpang sebuah Zastava Koral, mobil mini yang lebih dikenal sebagai Yugo. Usai berkendara selama 17 jam dan melewati entah berapa pos pemeriksaan, mereka pun sampai di Munich.

Kehidupan baru pun dimulai. Silva dan Dejan, beserta adik dan iparnya, sejak saat itu berstatus pengungsi perang.

"Pergi ke Jerman merupakan sebuah keputusan besar yang diambil orang tuaku," kata Dejan lagi, seperti dikutip laman Joe.co.uk. "Kami pergi praktis tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang kami kenakan. Tidak ada tas-tas. Tidak ada apa-apa."

"Aku ingat saat kami datang ke rumah Kakek," lanjut Dejan. "Sebuah rumah kayu nan kecil. Sangat mungil tapi penuh dengan kehangatan cinta kasih. Kami bersebelas tinggal di sana selama tiga tahun."

Sasa tak ikut dalam rombongan kecil tersebut. Ia memilih tinggal di Bosnia selama beberapa pekan, sebelum kemudian menyusul ke Munich.

Dejan kecil nan imut-imut. FOTO: Tangkapan layar LFC TV
Dejan kecil nan imut-imut. FOTO: Tangkapan layar LFC TV
Tak Pernah Kembali

Sementara itu ketegangan di Bosnia-Herzegovina kian memuncak. Dari siaran radio di Munich mereka mendengar bahwa Zenica benar-benar jadi kota lumpuh dan terisolir. Tak ada aliran air bersih, tak ada listrik. Saling serang dan saling bunuh di tempat umum antara etnis Kroasia dan Bosnia semakin sering terjadi.

Sarajevo, ibukota Bosnia-Herzegovina, dikepung selama 1.425 hari (5 April 1992 - 29 Februari 1996) oleh pasukan Republika Srpska. Pertempuran ini saja menewaskan total 13.952 jiwa, termasuk 5.434 warga sipil. Korban terbanyak jatuh di pihak Bosnia-Herzegovina, yakni sebanyak 6.137 jiwa. Sedangkan Republika Srpska kehilangan 2.241 serdadu.

Meski sudah tinggal jauh dari kawasan konflik, Silva terus saja merasa sedih mendengar kabar tersebut. Terlebih seorang anggota keluarga besar mereka ditikam hingga tewas dalam sebuah serangan terbuka.

"Andai saja kami bertahan di Bosnia bisa jadi kedua orang tuaku sudah tidak ada hari ini, mungkin aku pun sudah mati," kenang Dejan lagi.

Keluarga Lovren tinggal di Munich selama tujuh tahun. Dejan masuk ke sebuah TK, lalu dilanjutkan ke pendidikan setingkat sekolah dasar. Seperti halnya bocah-bocah Jerman lain, ia kemudian menggemari sepakbola. Bersama sang adik yang lahir di tahun kelima masa pengungsian, ia sering menyaksikan Bayern Munich bertanding di stadion. Ia bahkan sempat berfoto bersama bintang-bintang Bayern masa itu, di antaranya Lothar Matthaus dan Bixente Lizarazu.

Di tahun ketujuh masa pengungsian, otoritas Jerman tidak dapat memperpanjang ijin tinggal Sasa sekeluarga. Urusan administrasi memaksa mereka keluar dari Jerman dan harus kembali pindah tempat, mengungsi ke tempat lain lagi. Di tengah musim dingin tahun 1999, Sasa sekeluarga meninggalkan Munich dengan segala kenangannya.

Jalan kehidupan kemudian membawa mereka ke Karlovac, sebuah kota dekat perbatasan Slovenia. Jaraknya sekitar 55 km di barat daya Zagreb, ibukota Kroasia. Mereka pun kembali memulai hidup baru, sembari berharap dapat terus tinggal di sana.

Perang Bosnia sebenarnya telah usai bertahun-tahun sebelum itu. Pihak-pihak yang bertikai mencapai kata sepakat dalam sebuah perundingan di Markas Angkatan Udara Wright-Patterson milik Amerika Serikat di Dayton, Ohio, November 1995. Kesepakatan tersebut lantas dikukuhkan secara resmi dalam sebuah perjanjian damai di Paris pada 14 Desember 1995.

En toch, momen bersejarah tersebut tak sedikit pun menggerakkan Sasa kembali ke Kraljeva Sutjeska. Agaknya ia masih dicekam trauma dan merasa lebih baik pindah ke Kroasia, negara yang merupakan asal-usulnya.

Merayakan gelar juara liga utama Kroasia bersama Dinamo Zagreb. FOTO: dejanlovren.blogspot.com
Merayakan gelar juara liga utama Kroasia bersama Dinamo Zagreb. FOTO: dejanlovren.blogspot.com
Bangkit dengan Sepakbola

Di Karlovac, Silva bekerja di sebuah gerai Walmart dengan gaji 350 euro sebulan, sementara Sasa bekerja sebagai tukang cat rumah. Kehidupan keras harus mereka jalani karena uang yang dihasilkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup berempat selama sebulan.

Usia Dejan 10 tahun waktu itu. Satu fragmen yang terus ia ingat adalah saat sang ayah menjual sepatu seluncur es (ice skate) miliknya demi "memperpanjang napas" di tanggal tua.

"Dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai kembali mendapat gaji," kenang Dejan, getir.

Adalah sepakbola yang kemudian menjadi penyelamat keluarga tersebut. Dejan yang bergabung dengan tim lokal NK Ilovac sejak tiba di Karlovac, kemudian pindah ke NK Karlovac di tahun 2002. Dua tahun berselang tawaran dari klub ibukota Dinamo Zagreb datang padanya. Tentu saja Dejan tak mau menampik kesempatan emas itu.

Setelah dua tahun memperkuat tim junior Dinamo, sejak musim 2006/07 Dejan naik level ke tim senior. Ia membukukan debut di Prva HNL, liga utama Kroasia, pada 10 Mei 2006 dalam pertandingan melawan NK Varteks Varazdin. Sempat dipinjamkan ke NK Inter Zapresic selama dua musim, Dejan kembali hanya untuk mengamankan satu slot di starting eleven Dinamo.

Karir cemerlang Dejan ini tentu saja membawa efek positif bagi perekonomian keluarga. Gajinya sebagai pesepakbola berkali-kali lipat gabungan penghasilan kedua orang tuanya. Masa-masa sulit keluarga pengungsi ini agaknya segera berlalu.

Januari 2010, Dejan teken kontrak dengan klub Ligue 1 Olympique Lyonnais. Kontrak senilai 8 juta euro plus insentif 1,5 juta euro ini mengikatnya selama 4,5 tahun. Namun ia hanya bertahan selama tiga tahun di Lyon. Juni 2013, ia pindah ke Southampton di Premier League.

Dari sinilah karir Dejan kian cemerlang. Ia dinilai sebagai salah satu bek terbaik di Premier League. Brendan Rodgers, pelatih Liverpool FC waktu itu, terpikat padanya dan menyodorkan proposal senilai GBP 20 juta. Sebuah tawaran besar yang sulit ia tolak, apalagi datang dari satu klub legendaris Eropa.

FOTO: liverpoolfc.com
FOTO: liverpoolfc.com
Ya, bocah kecil pengungsi Perang Bosnia itu adalah Dejan Lovren, bek tengah andalan Liverpool FC yang kini memperkuat timnas Kroasia di Piala Dunia 2018. Di Rusia, ia selalu bermain dalam lima partai yang telah dilakoni Vatreni.

Setelah mengangkat keluarganya dari jurang kepapaan akibat perang, bek bernomor punggung enam ini masih punya satu impian besar lain. Sebuah impian yang ia ikrarkan saat berusia 12 tahun, ketika masih berseragam NK Ilovac.

"Sejak hari pertama aku mulai bermain sepakbola, aku menuliskan sebuah kalimat pada secarik kertas. Pada usia 12 tahun aku menuliskan: 'Suatu hari nanti aku akan menjadi salah satu bek terbaik di dunia'," demikian ujar Lovren jelang final Liga Champions beberapa bulan lalu, seperti dikutip Mirror.

Dua pertandingan terakhir Piala Dunia 2018 tentunya bakal dimaksimalkan sebaik mungkin olehnya untuk mewujudkan impian tersebut. Karenanya, jangan lewatkan aksi Dejan Lovren bersama Kroasia. Dan ingat, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda ya.

Pemalang, 11 Juli 2018.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun