Mohon tunggu...
Bunga Sirait
Bunga Sirait Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tragedy + Time = Comedy

Senang mengamati perkembangan gaya hidup berkelanjutan (sustainability) dan sekitarnya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fast Fashion: Gaya, Cepat, Murah, tapi Banyak Problema

29 Juni 2021   22:17 Diperbarui: 29 Juni 2021   22:40 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Made in America Movement

Mikroplastik Dari Polyester 

Bahan ini digemari industri fast fashion karena harganya yang murah, menyerap warna dengan baik dan bebas kusut. Tidak heran ada data yang mencatat bahwa sejak tahun 2000, masa ketika tren fast fashion baru dimulai, produksi polyester meningkat.

Bahan ini rasanya memang punya sejumlah kelebihan kecuali kurang enak dipakai. Kenapa ia berbahaya karena bahan sintetis ini mengandung plastik yang dapat melepaskan microplastic ke air ketika dicuci. Sama seperti plastik, mikroplastik pun memerlukan waktu hingga ratusan tahun untuk terurai secara alami. Di dalam perjalanannya untuk terurai, mikroplastik bisa saja ditelan (atau tertelan) hewan atau masuk ke tubuh manusia melalui hewan yang dimakan.

Menghasilkan Banyak CO2

Industri fast fashion menyumbang 1.2 milliar ton CO2 per tahun atau 10% dari total polusi CO2 di dunia. Data dari Ellen MacArthur Foundation menyebutkan bahwa angka ini lebih besar dibandingkan industri penerbangan dan transportasi laut digabungkan. Dalam proses pembuatannya, satu buah kaos menghasilkan sebanyak 2.6 kg CO2 dan produksi satu buah celana jeans melepaskan 11.5 kg emisi CO2.

Perbudakan Modern

Negara-negara di Asia seperti Vietnam, India, Pakistan, Bangladesh, China, Thailand merupakan gudangnya tenaga kerja garmen yang rela dibayar amat murah dan di banyak kasus, mereka bekerja di lingkungan yang tidak sehat. Yang juga menyedihkan adalah banyaknya brand yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan ada sekitar 260 juta pekerja anak di seluruh dunia yang bekerja untuk brand-brand besar skala internasional.  

Dalam praktik fast fashion, perbudakan dengan gaya modern seakan menjadi hal yang wajar. Menurut survei 'Fashion Checker', 93% merek fast fashion malah tidak membayar pekerja garmen dengan upah layak.

Menghasilkan sampah pakaian

Bagaimana nasib dari pakaian yang tidak laku atau sudah melewati masa trennya? Sekitar 57% pakaian fast fashion yang tidak terjual tidak didaur ulang, melainkan hanya dibuang saja ditempat pembuangan akhir atau ditimbun. Saya juga pernah mendengar bahwa produk yang tidak laku akan dijual tanpa label dengan harga murah ke negara-negara miskin atau berkembang.

Kembali ke Konsep Slow Fashion

Lalu bagaimana kita bisa menjadi bagian dari perbaikan? Kita bisa mengadopsi slow fashion, konsep kebalikan dari fast fashion.

Slow fashion bukanlah konsep baru, inilah konsep logis membeli barang yang kita kenal sejak dulu, yaitu membeli barang kualitasnya bagus supaya awet dipakai, bukannya sering membeli barang karena kita tahu barang tersebut akan cepat rusak.

“Buy less, choose well, and make it last,” begitu ujar desainer Viviene Westwood yang melihat pola konsumsi fast fashion sebagai cara berpikir yang ‘sakit’. 

Dalam Slow fashionprodusen pakaian memproduksi pakaian memakai bahan berkualitas dengan tujuan agar pakaian itu bisa dipakai dalam waktu lama, dan dalam proses pembuatannya, produsen juga memperhatikan lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun