Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

The Lost Demokrasi

12 Februari 2021   21:21 Diperbarui: 16 Februari 2021   09:19 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi hilang, ilustrasi (Foto Muslimahnews.com)

BAGAIMANA memperkuat dan menyiapkan demokrasi untuk masa depan manusia? terlebih untuk rakyat Indonesia. Nyawa demokrasi tak bisa lepas dari rakyat. Rakyat itulah pemilik kedaulatan. Demokrasi akan punah, boleh saja. Gejala itu telah kita saksikan di depan mata, terjadi.

Dimana pengrusakan sendi-sendi demokrasi didemonstrasikan telanjang. Demokrasi yang marwahnya dari oleh dan untuk rakyat. Ruh dan aliran nafasnya kini seperti dilepas dari fisik (simbol) demokrasi. Seperti ruh dan jasad kekuatan integral demokrasi menjadi tidak menyatu.

Demokrasi yang muncul dari Athena Yunani Kuno itu kini begitu diminati di jaman modern. Partisipasi politik di Athena kala itu sangat tinggi. Obrolan rakyat hampir tiap hari adalah tentang Negara dan politik. Thucydides, sejarawan dari Alimos, mengatakan konstitusi kita disebut demokrasi karena kekuatan ada ditangan seluruh rakyat.

Apakah Indonesia rakyatnya apatis terhadap politik demokrasi?, tidak juga. Rakyat kita malah lebih rutin bicara politik. Elit pemerintah dan aktor politik kita bahkan mubazir berbincang politik. Sedihnya, dalam tataran praktek demokrasi masih kurang di bumikan. Antara dialog, percakapan dan perbuatan tidak selaras.

Bukan ditangan minoritas demokrasi bertumbuh. Athena masing-masing individu tak hanya mengurus urusan pribadi mereka, tetapi urusan Negara. Dalam perjalanannya, pada sekitar 430 SM, Athena terlibat perang dengan Sparta di perang Peloponnesos.

The lost demokrasi (demokrasi yang hilang) terang terjadi. Tidak berlebihan, melainkan bukti nyata terjadi demokrasi yang nyawa berada pada nilai kebenaran dan kebersamaan dilepas. Lahirlah demokrasi yang prakteknya jauh dari nilai-nilai etika, moral sekaligus nilai kemanusiaan. Kebohongan menghiasi demokrasi kita.

Kecurangan seolah dilembagakan. Itu bukan ajaran suci demokrasi. Lama kelamaan, ketika yang dipelihara adalah praktek yang buruk-buruk itu, maka yakinlah demokrasi akan hilang. Penghargaan terhadap hak-hak rakyat menjadi tidak lagi berada pada posisi terhormatnya.

Jika di masa Yunani pernah ada Sparta sebagai Negara dengan sistem otoritar militeristik. Yang dikala itu berkonfrontasi dengan Athena, lalu akhirnya mengalahkan dan menghancurkan Athena. Bahkan sampai sebagian rakyatnya menjadi budak dikala itu.

Barulah kemudian Athena bangkit kembali dengan babak baru kelahiran gerakan filsafat dari kaum Sofis. Di era ini, beberapa diantara mereka mengatakan kebenaran tidak ada. Tantangan kita di Indonesia malah lain, lebih lembut lagi. Negara kita dikacaukan dengan diimportnya pemikiran liberal.

Ditambah lagi dengan mentalitas dan karakter curang, korup dari elit-elit pemerintah kita. Perilaku korupsi masih dipertontonkan tanpa malu. Etika pejabat publik kita masih berada di bawah rata-rata. Masih sebatas ukuran tumit dan alas kaki, jika urusan korupsi. Mereka yang diduga korupsi masih mempertahankan posisi.

Jika di Jepang dan Negara lain, para terduga melakukan skandal turun melepas jabatan dengan kesadarannya sendiri. Di Indonesia, malah pejabatan Negara kita masih melakukan lobi-lobi politik agar jabatannya tetap dipegangnya. Tanpa rasa bersalah, mereka senyum dan tertawa di depan Televisi.

Dari aspek itu saja, kita sudah kalah. Karakter memang menjadi ukuran penting. Bagaimana mau melahirkan keteladanan kepada rakyat?, jikalau elit pemerintah kita sudah model begitu. Mengenang Plato (427-347 SM) yang pernah menyebutkan tentang konsep the lost civilization.

Filsuf Yunani itu mengkhawatirkan dan meramalkan bahwa akan hilangnya peradaban manusia. Indonesia akan mengalami The lost demokrasi. Bila situasi devisit demokrasi tidak dipulihkan. Para politisi saling sikat membuat demokrasi menjadi kian redup cahayanya.

The end demokrasi karena penyebabnya, para aktor-aktor politik bermental brutal. Mereka tidak memuliakan demokrasi dengan praktik yang benar. Tidak meletakkan demokrasi pada prinsip adil, transparan dan bertanggung jawab. Demokrasi sekedar dijadikan alat mencapai kekuasaan.

Demokrasi menjadi hilang disebabkan para stakeholder demokrasi belum mempunyai kesadaran intelektual. Secara rinci, memang the lost demokrasi bukanlah the end demokrasi. Bukan pula die demokrasi atau demokrasi mati. The lost demokrasi lebih menyentuh pada aspek substansi.

Kenapa demokrasi hilang?, itu tidak lepas dari kebiasaan-kebiasaan individu yang mengabaikan prinsip demokrasi. Siklus demokrasi dari oleh dan untuk rakyat, dihadang. Alhasil, hakikat demokrasi menjadi tidak dijalankan secara tepat dan benar. Next post demokrasi, ke depan bergantung rakyat.

Begitu pula kesadaran elit pemerintah. Semua stakeholder intinya harus bekerja bersama. Memajukan, menyelamatkan demokrasi yang tengah kehilangan orientasi. Demokrasi tergerus maknanya, dari yang sebetulnya untuk rakyat disimpangkan menjadi untuk elit berkepentingan semata.

Demokrasi yang berasal dari demos (rakyat), berarti suara mayoritas adalah kebenaran. Rakyatlah pemimpin. Sedangkan kratos yang juga berasal dari bahasa Yunani berarti pemerintah. Demokrasi kontemporer mengalami perubahan yang begitu mendasar. Rakyat dan elit pemerintah makin dijauhkan.

Terjadi semacam migrasi besar. Demokrasi diramaikan dengan pesta pora, huru-hara dan kekacauan di antara sesame politisi. Memang sejak dari tafsir demokrasi tak terasa mulai bergeser. 

Demokrasi kini menjadi dari rakyat oleh dan untuk kaum pemilik modal. Bahkan, demokrasi di kurung dalam ruang sempit. Kecenderungan demokrasi dijadikan nilai tukar untuk kepentingan penguasa.

Ketika pemerintah pandai merawat demokrasi, rakyat akan ikut memperkuat demokrasi. Pemerintah jangan diam menyaksikan kematian demokrasi dan kepunahannya. Bagaimana ke depan demokrasi kuat, lebih maju, terbebas dari ancaman, harus dibarengi dengan edukasi demokrasi yang intens.

Dalam buku yang ditulis Plato, Socrates menunjukkan kekurangan demokrasi dengan membandingkannya dengan kapal. Kalau kau sedang berlayar dengan kapal, siapa yang lebih baik memimpin kapal itu?. Bolehkah semua kru diberi hak memimpin?.

Ataukah orang yang memiliki pendidikan tentang urusan laut dan kapal?. Mengapa rakyat yang tidak punya kemampuan, pengalaman dan pendidikan diperbolehkan memilih pemimpin. Lalu suara rakyat dianggap suara kebenaran?. Tidak mudah memang membangun kesadaran demokrasi.

Sembari kecerdasan publik kita bangun. Kolaborasi perlu dibangun, secara mantap. Babak baru demokrasi ke depan harusnya mampu membuat jalan penyelamatan. Rakyat diberikan kesejahteraan, bukan diberi janji-janji. Setelahnya harapan rakyat dimusnahkan.

Bagi Plato demokrasi berlawanan dengan kebenaran. Kemungkinan hal inilah yang membuktikan, sehingga proses demokrasi melahirkan pemimpin yang kurang peka terhadap rakyatnya. The lost demokrasi melahirkan pemimpin yang berwatak korup. Pemimpin yang tidak menghargai rakyat.

Demokrasi mengutamakan rakyat, bukan mengutamakan kepentingan pemimpin. Bangunlah kebiasaan berdemokrasi yang penuh disiplin. Mengajarkan rakyat berpikir dan bekerja benar, mengutamakan kepentingan semua pihak. 

Kemampuan menginternalisasi dan menjawab kebutuhan-kebutuhan rakyat yang dilakukan pemerintah, itu sama saja menunaikan tugas mulia demokrasi.  

Tantangan yang dihadapi demokrasi makin krusial dan rumit. Demokrasi makin hilang jika praktek politik uang, oligarki serta rekayasa hasil Pemilu terus dilakukan. 

Begitu pula kelompok organisasi sipil pegiat demokrasi perlu menggalang kekuatannya. Jangan berhenti sampai pada mereka saja. Kerja bersama menghidupkan demokrasi perlu dilakukan.

Salah satunya dengan menghidupkan kritik. Mendorong agar oposisi tetap tumbuh. Kebebasan publik dalam menyampaikan pendapat umum jangan dibungkam. Intervensi terhadap lembaga penyelenggara Pemilu dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya dihentikan. Rakyat juga jangan ditakut-takuti dengan terror kekuasaan.     

Benarkah demokrasi is dead? Benar, nilai-nilainya telah mati. Telah mati karena bujukan pemodal dan penguasa rakus. Demokrasi sedang mati. Kejujuran, keadilan sudah jarang kita temukan dalam praktek demokrasi. Yang menguasai panggung demokrasi malah kaum berduit. Di semua lini demokrasi para politisi sekongkol dengan pemilik modal atau pengusaha (cukong). Mereka yang memenangkan demokrasi adalah antek-antek pemilik modal.  

Ketidakadilan penguasa berdampak besar terhadap demokrasi. Ulah pemerintah yang tidak adil terhadap rakyat menyebabkan adanya apatisme massal. Ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpin. Dan bahkan, mengerikan lagi akan bermunculan pembangkangan rakyat terhadap pemerintah yang dinilai tidak demokrastis. Atas kemerosotan itu demokrasi menjadi kehilangan keseimbangan.

Demokrasi hilang ditangan mereka yang bernafsu meraih kekuasaan. Seperti meluruskan benang kusut, praktik demokrasi kita begitu kronis. 

Duet pemilik modal dan penguasa untuk memuluskan kepentingannya telah berjalan, mengakar begitu lama. Butuh keberanian membongkar itu semua. Meluruskan yang kekacauan interaksi. Intrik yang dibangun dibalik layar kekuasaan berefek merugikan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun