Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Organisasi, Petaka dan Komersialisasi

26 Desember 2020   15:53 Diperbarui: 30 Januari 2021   15:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas (Foto Dokpri)

MEREKA yang besar dan melewati proses perkaderan di organisasi, umumnya matang secara intelektual. Melalui proses training, pengayaan, dialektika yang berbasiskan membangun tradisi intelektualitas. Para kader-kader diberi spirit berorganisasi secara tertib dan berdedikasi. Hasilnya, tak sedikit mereka yang tumbuh, sukses. Sebut saja organisasi seperti HMI, KAHMI, KNPI, dan lainnya.

Ada tradisi positif yang membuat para kader-kader organisasi ini merasa bangga. Karena dimana-mana, senior atau rekannya terorbitkan sebagai pemikir handa. Relasi luas, penulis hebat, orator ulung, dan juga orang sukses dalam karirnya. Di dunia kampus pun begitu, tidak sedikit kader organisasi Cipayung ini berhikmat. Pemikiran dan kontribusinya dibutuhkan, mewarnai bangsa ini.

Sisi positif lainnya, organisasi-organisasi ini dapat melahirkan relasi jejaring yang kuat. Mereka punya ukhuwah. Sesama alumni, sesama kader yang aktif, begitu kuat ikatan emosionalnya. Sampai-sampai muncul ego sektoral. Ego dan sentiment 'bendera' menyandera mereka. Merasa paling pandai, paling hebat, merasa paling berpengalaman, merasa paling layak dan seterusnya, sebetulnya inilah penyakit.

Tentu penyakit akut yang membuat kader-kader organisasi besar ini menjadi kerdil. Mereka doyan dengan pemikiran holistik, memaknai pergaulan secara multikultural atau pluralistik. Membahas tema dan diskursus humanisme universal, gerakan populisme. Namun pada aspek prakteknya, mereka malah menjadi agen dan kontributor gerakan parsial. Polarisasi dilakukan. Jika menguasai suatu institusi, sebut saja KPU atau Bawaslu, maka semua harus dimonopoli mereka.

Jadinya apa?, lahirlah kubu-kubuan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Hegemoni dilakukan secara membabi-buta. Konsekuensinya, kualitas, integritas, profesionalisme, dan trust, tidak lagi menjadi penting. Dalam benak mereka, yang utama dipakai adalah pendekatan 'warna bendera'. Tidak hanya disitu. Lebih jauh lagi, perang internal juga mencuat kencang.

Sesama kaderpun saling berselisih. Mereka para senior yang merasa paling pantas, paling layak mengendalikan permainan sesuka hatinya memberikan restu atau rekomendasi. Atas junior-junior jagoannya. Tak lepas pada konteks memberi rekomendasi, membuka jalan, selebihnya, mereka menutup jalan bagi kader lainnya. Caranya dua, yang pertama mereka tidak memberi rekomendasi.

Kemudian, yang kedua, mereka mencari cela. Menghambat, menebar fitnah terhadap kader junior yang tidak disukai senior tersebut. Memalukannya lagi, ada para senior yang mengkapitalisasi posisinya. Meminta imbalan, berharap disuap juniornya, mengajarkan juniornya untuk bersikap tidak sewajarnya. Alhasil, para juniorpun ikut-ikutan merebut jabatan dengan menghalalkan segala cara. Naudzubillahi min dzalik.

Para senior juga butuh dikultuskan. Menjadi jumawa atas peran-perannya yang sesaat itu. Mereka lupa, bahwa kelah akan dimintai pertanggung jawaban. Atas sikap senior yang demikian, mereka memamerkan, mempertontonkan ketidakteladanan. Mereka tak layak menjadi role model. Begitu menyedihkan, sekaligus memalukan. Adu link, adu kuat, adu rekomendasi dimainkan. Sampai mereka lalai memikirkan soal junior yang mereka dzalimi.

Praktek curang, kesewenang-wenangan itu akan diingat juniornya. Mereka menganggap tak ada lagi pembalasan. Rebutan kepentingan yang sesaat ini akan menjadi cerita dan kenang-kenangan panjang. Tak akan selesai dalam ruang pertarungan kepentingan tersebut saja. Akan ada dendam. Akan ada pula warisan konflik yang menyayat luka, lalu itu semua akan berubah menjadi murka. Saling menghajar kelak.

Bahkan sampai anak cucu, konflik yang dibangun atas dasar kecurangan itu mengalir. Baik dalam cerita, maupun dalam bentuk tulisan-tulisan seperti ini. Akan membekas. Ada pihak yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Dan tidak akan berhenti disitu, akan berkembang, membekas. Terejawantahkan menjadi dendam kusumat, bisa saja. Walau lainnya, hal-hal seperti ini dapat diikhlaskan. Biarkan itu menjadi cerita menyakitkan.

Sebaiknya, pertarungan yang melibatkan kader muda atau junior, diikuti saja kader muda. Tak usahlah ada intervensi para senior. Sebab, itu hanya mendatangkan bencana besar. Tidak sedikit orang yang kecewa. Mereka yang telah berkecimpun, besar, membesarkan, ikut ambil bagian dalam proses disebuah organisasi, lantas dalam momentum tertentu dibunuh organisasi tersebut.

Karena dianggap atau dituduh 'melawan', tidak tertib, tidak menghargai senior atau tidak masuk dalam gerbong senior dan dijadikan tumbal. Itu menyakitkan. Bisa jadi mengkristal dari sakit hati, menjadi benci dan dendam berkepanjangan. Organisasi akhirnya dimanfaatkan hanya untuk membunuh kepentingan sebagian kadernya. Memuluskan kepentingan kader lainnya. Begitu tidak adilnya.

Kebanyakan pula senior yang sukses dalam ruang karir formal. Dalam ruang-ruang publik karena menggadaikan, menempel, menjual-jual nama organisasi, mengemis pada rekomendasi organisasi. Tapi mereka lupa diri. Mereka malah membunuh kader lain yang mau berkembang. Begitu bejatnya. Begitu serakahnya mereka kader-kader senior yang seperti itu.

Sungguh laknat sikap mereka itu. Merasa seolah-olah organisasi tertentu adalah warisan nenek moyang mereka. Disinilah, kehancuran organisasi besar terjadi. Distribusi keadilan tidak dilakukan. Monopoli, arogansi dipelihara, soal like and dislike dikedepankan. Praktek 'bunuh-membunuh' karir dilakukan dengan tanpa malu. Mereka yang tidak segaris, meski sama-sama dibesarkan di organisasi tersebut, akan dilibas. 

Begitu jahatnya. Tujuan organisasi yang mulia, malah disulap. Diciptakan iklimnya menjadi seperti di atas meja judi. Tak ada lagi pelibatan nilai-nilai kemanusiaan, senasib sepenanggungan. Tak ada lagi kasih sayang yang terikat, yang ada hanyalah tarung kepentingan kelompok. Saling mencederai, berkompetisi untuk meraih target masing-masing. Hasilnya kemudian, banyak cita-cita besar para kader dikubur paksa.

Kader yang dianggap dengar-dengaran diutamakan. Dikawal mati-matian para senior yang gila hormat. Lantas, sebagian kader yang mengerti tentang independensi berfikir, bersikap dan mandiri dalam mengambil keputusan dihambat. Mereka dituding 'kader pemberontak', kader pembelot serta ragam tudingan sintimentil lainnya. Begitu miris. Tak ada lagi cinta dan kasih sayang disini. Yang ada hanya saling klaim. Saling mendiskreditkan.

Pada level selanjutnya, tujuan organisasi menjadi bergeser. Instrumen yang mencerahkan, mengedukasi kader. Sekolah alternatif yang menyiapkan calon pemimpin bangsa, malah berubah seperi alat pemuas kepentingan para senior. Kapitalisasi, pembajakan dilakukan demi memuluskan kepentingan kader-kader tertentu. Dalam 'lapak' lainnya, menjadi alat membunuh, meruntuhkan cita-cita kader lainnya.

Organisasi dibatasi ruang eksistensinya. Selayaknya menjadi jalan menuju kebenaran, malah digeser menjadi ruang gelap yang melahirkan petaka kesesatan. Bagaimana tidak, sesama kader sudah saling berkonflik. Berbondong-bondong mengamankan kepentingannya dengan cara-cara tidak etis. Organisasi yang digambarkan sebagai rumah besar yang menyenangkan, malah melahirkan wajah yang menyeramkan. Disulap habis-habisan oleh senior yang bengis.

Kedepan jika tradisi saling menjegal tidak dihilangkan. Maka, estetika organisasi, reputasi yang luar biasa hanya menjadi kenangan. Menjadi kamuflase bagi publik. Sudah saatnya, organisasi besar yang diharap melahirkan kader-kader bangsa berbenah secara internal. Para senior yang rakus harus diselesaikan secara adat. Jangan dilibatkan lagi. Jangan lagi diberi panggung. Jika, mereka masih saja diberi panggung, yakinlah kelak organisasi ini akan mati.

Keistimewaan organisasi yang intelek, berubah seperti organisasi bar-bar. Citranya kian rusak. Banyak kader yang bermental destruktif, untuk kepentingan dirinya menggadaikan organisasi. Tak habis disitu, sejumlah senior yang berselera mengejar-ngejar jebatan, memakai nama besar organisasi untuk kepuasan kepentingan dirinya. Sialnya lagi, mereka menutup dan menghambat kader lain dengan memperalat organisasi.

Lucunya, jika rekomendasi organisasi dikomersialisasi dianggap hal lumrah. Tak jarang semua urusan organisasi dieksploitasi sebagai nilai jual. Bargaining kepentingan begitu tak wajar dilakukan. Memiriskan, kader organisasi dijadikan tumbal akhirnya. Apalagi kader atau alumni yang tidak punya basis finansial. Tentu terpinggirkan dengan beragam alasan.

Lahirlah musibah dan tragedi. Dimana organisasi telah kehilangan orientasinya. Marwah organisasi menjadi direndahkan kadernya sendiri. Pihak eksternal mendapat kesempatan. Akhirnya mereka melakukan propaganda mengacaukan organisasi tersebut. Dengan cela 'pertengkaran' antar sesama kader konfliknya diperluas. Tak ada lagi persatuan. Hilang kebersamaan. Sekat dan faksi terjadi makin kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun