Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Organisasi, Petaka dan Komersialisasi

26 Desember 2020   15:53 Diperbarui: 30 Januari 2021   15:53 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas (Foto Dokpri)

Karena dianggap atau dituduh 'melawan', tidak tertib, tidak menghargai senior atau tidak masuk dalam gerbong senior dan dijadikan tumbal. Itu menyakitkan. Bisa jadi mengkristal dari sakit hati, menjadi benci dan dendam berkepanjangan. Organisasi akhirnya dimanfaatkan hanya untuk membunuh kepentingan sebagian kadernya. Memuluskan kepentingan kader lainnya. Begitu tidak adilnya.

Kebanyakan pula senior yang sukses dalam ruang karir formal. Dalam ruang-ruang publik karena menggadaikan, menempel, menjual-jual nama organisasi, mengemis pada rekomendasi organisasi. Tapi mereka lupa diri. Mereka malah membunuh kader lain yang mau berkembang. Begitu bejatnya. Begitu serakahnya mereka kader-kader senior yang seperti itu.

Sungguh laknat sikap mereka itu. Merasa seolah-olah organisasi tertentu adalah warisan nenek moyang mereka. Disinilah, kehancuran organisasi besar terjadi. Distribusi keadilan tidak dilakukan. Monopoli, arogansi dipelihara, soal like and dislike dikedepankan. Praktek 'bunuh-membunuh' karir dilakukan dengan tanpa malu. Mereka yang tidak segaris, meski sama-sama dibesarkan di organisasi tersebut, akan dilibas. 

Begitu jahatnya. Tujuan organisasi yang mulia, malah disulap. Diciptakan iklimnya menjadi seperti di atas meja judi. Tak ada lagi pelibatan nilai-nilai kemanusiaan, senasib sepenanggungan. Tak ada lagi kasih sayang yang terikat, yang ada hanyalah tarung kepentingan kelompok. Saling mencederai, berkompetisi untuk meraih target masing-masing. Hasilnya kemudian, banyak cita-cita besar para kader dikubur paksa.

Kader yang dianggap dengar-dengaran diutamakan. Dikawal mati-matian para senior yang gila hormat. Lantas, sebagian kader yang mengerti tentang independensi berfikir, bersikap dan mandiri dalam mengambil keputusan dihambat. Mereka dituding 'kader pemberontak', kader pembelot serta ragam tudingan sintimentil lainnya. Begitu miris. Tak ada lagi cinta dan kasih sayang disini. Yang ada hanya saling klaim. Saling mendiskreditkan.

Pada level selanjutnya, tujuan organisasi menjadi bergeser. Instrumen yang mencerahkan, mengedukasi kader. Sekolah alternatif yang menyiapkan calon pemimpin bangsa, malah berubah seperi alat pemuas kepentingan para senior. Kapitalisasi, pembajakan dilakukan demi memuluskan kepentingan kader-kader tertentu. Dalam 'lapak' lainnya, menjadi alat membunuh, meruntuhkan cita-cita kader lainnya.

Organisasi dibatasi ruang eksistensinya. Selayaknya menjadi jalan menuju kebenaran, malah digeser menjadi ruang gelap yang melahirkan petaka kesesatan. Bagaimana tidak, sesama kader sudah saling berkonflik. Berbondong-bondong mengamankan kepentingannya dengan cara-cara tidak etis. Organisasi yang digambarkan sebagai rumah besar yang menyenangkan, malah melahirkan wajah yang menyeramkan. Disulap habis-habisan oleh senior yang bengis.

Kedepan jika tradisi saling menjegal tidak dihilangkan. Maka, estetika organisasi, reputasi yang luar biasa hanya menjadi kenangan. Menjadi kamuflase bagi publik. Sudah saatnya, organisasi besar yang diharap melahirkan kader-kader bangsa berbenah secara internal. Para senior yang rakus harus diselesaikan secara adat. Jangan dilibatkan lagi. Jangan lagi diberi panggung. Jika, mereka masih saja diberi panggung, yakinlah kelak organisasi ini akan mati.

Keistimewaan organisasi yang intelek, berubah seperti organisasi bar-bar. Citranya kian rusak. Banyak kader yang bermental destruktif, untuk kepentingan dirinya menggadaikan organisasi. Tak habis disitu, sejumlah senior yang berselera mengejar-ngejar jebatan, memakai nama besar organisasi untuk kepuasan kepentingan dirinya. Sialnya lagi, mereka menutup dan menghambat kader lain dengan memperalat organisasi.

Lucunya, jika rekomendasi organisasi dikomersialisasi dianggap hal lumrah. Tak jarang semua urusan organisasi dieksploitasi sebagai nilai jual. Bargaining kepentingan begitu tak wajar dilakukan. Memiriskan, kader organisasi dijadikan tumbal akhirnya. Apalagi kader atau alumni yang tidak punya basis finansial. Tentu terpinggirkan dengan beragam alasan.

Lahirlah musibah dan tragedi. Dimana organisasi telah kehilangan orientasinya. Marwah organisasi menjadi direndahkan kadernya sendiri. Pihak eksternal mendapat kesempatan. Akhirnya mereka melakukan propaganda mengacaukan organisasi tersebut. Dengan cela 'pertengkaran' antar sesama kader konfliknya diperluas. Tak ada lagi persatuan. Hilang kebersamaan. Sekat dan faksi terjadi makin kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun