Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada Bukan Pileg, Eskalasinya Berbeda

25 Juli 2020   16:58 Diperbarui: 26 Juli 2020   21:17 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Pilkada. (sumber: KOMPAS/HANDINING)

Faktor ini bisa terjungkal, dapat dikalahkan kalau kemungkinan-kemungkinan lainnya bermain disana. Konsolidasi kepentingan menjadi jawabannya. Dimana elit partai politik perlu merebut momentum kemenangan sebelum bertanding di Hari H Pilkada, Rabu 9 Desember 2020.

Merebut kemenangan sebelum perang, berarti perlu keahlian dan rapi dalam menarik gerbong koalisi. Bagi elit yang lalai dan abai membaca secara detail pembentukan koalisi parpol, maka dipastikan akan jebol. Bisa juga penggemukan koalisi, tapi miskin fungsi dan kekuatan. 

Memang 'koalisi besar' menjadi bagian penting dalam kerja-kerja meraih kemenangan di Pilkada. Bukan hanya hal itu membuat elit parpol gegabah, tereuforia lalu tidak selektif dalam menentukan kawan koalisi.

Hati-hati juga, jangan sampai ada penumpang gelap dalam satu bangunan koalisi. Tentu hanya akan membawa petaka, akan terjadi kekalahan yang tragis bila ada musuh dalam selimut. 

Bagaimana pun itu, dalam politik kita sering menemukan spionase, pengintai dan peluncur. Yang bekerja professional untuk mengalahkan paslon tertentu dari dalam koalisi itu sendiri. Elit partai politik yang punya kewenangan menentukan SK harus membaca mutasi kepentingan tersebut.

Mutasi dari pemilih yang sejak di Pileg begitu loyal tehadap figur tertentu, tapi disaat Pilkada mereka berlawanan. Tidak semua suara yang didapat politisi saat Pileg akan mampu dikawalnya sampai Pilkada. 

Belum lagi kalau hasil suara Pileg itu hanya suara-suara 'selundupan' dan bayaran. Inilah yang kita sebut swing voters. Kecenderungan mereka tidak konsisten ke salah satu figur, dan gampang digiring pilihannya ke figur lain. Rata-rata mereka bukan tipikal pemilih kritis.

Boleh berubah menjadi fatal, berbalik melemahkan kandidat tertentu jika hasil Pileg menjadi indikator satu-satunya. Perlu sumber daya pendukung, karena wilayah pertarungan Pilkada lebih memperkecil peta kekuatan pemilih. 

Masyarakat akan diletakan seperti dalam 'akuarium' sehingga kandidat Kepala Daerah bersama timnya lebih mudah melakukan pengawasan dan pengawalan. Medan pertarungannya berbeda, ketika Caleg yang lebih diandalkan, maka Pilkada tim kerja yang akan lebih dominan bekerja. Kerja jejaring kolektif yang menjadi kekuatan. Pembentukan sel-sel aktif dan bekerja kepada paslon yang akan lebih digenjot.

Tidak bermaksud menyalahkan pendekatan tertentu. Tapi sekedar berupaya melahirkan alternatif, ada obsi dalam cara berfikir yang lain peril digarap. 

Manakala keterbatasan metode yang jadi faktor yang membuat kalah paslon tertentu, itu bertanda kita melewatkan proses berfikir yang lengkap. Kita terburu-buru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun