Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal dan Lemahnya Nasionalisme

16 Mei 2020   14:46 Diperbarui: 16 Mei 2020   21:51 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kearifan lokal (Editor, Fahri)

Kearifan lokal (local wisdom) kini menjadi sesuatu yang mulai pudar, jarang lagi terdengar. Di ruang publik apalagi, rasanya kering. Kecuali untuk kepentingan studi-studi ilmiah, kalimat kearifan lokal terdengar. Dengan jarang dibincangkannya tema kearifan lokal, tampaknya kita mulai lalai melestarikan peninggalan sejarah. Padahal dari kearifan lokal itulah kehidupan damai dan kompak terlahir.

Dalam pembelajaran sejarah, pengakuan terhadap kearifan lokal perlu terus-menerus diangkat. Menjadi gagasan sentral bila perlu. Ya, tentu dengan tujuan memotivasi dan membangkitkan kecintaan kita terhadap kondisi lokalitas. Peninggalan atau warisan leluruh akan terus hidup. Bukan semata dalam kata dan ucapan, melainkan tindakan.

Jangan berlebihan kita memimpikan nasionalisme, jikalau kearifan lokal dilangkahi. Mestinya, bermula dari pembelajaran tentang kecintaan terahdap kearifan lokal kita kuatkan. Selanjutnya, kita dengan efektif, tidak telalu sulit membangkitkan kesadaran nasionalisme. Sebab, nasionalisme kebangsaan itu terlahir dari solidaritas masyarakat lokal.

Kekuatan nasionalisme tak boleh tersekat. Apalagi diputuskan rantainya dengan sejarah kearifan lokal. Jika direview, sejarah nasionalisme Indonesia itu belakangan lahir. Setelah kearifan lokal, barulah nasionalisme menyusul. Karena jauh sebelum Indonesia terbentuk dengan doktrin nasionalismenya agar masyarakat bersatu, kearifan lokal lebih dulu dihidupkan.

Kearifan lokal itu berkorelasi dengan nilai luhur yang menjadi produksi sejarah, ide, kebaikan, solidaritas, kolektifisme masyarakat, sikap saling peduli dan tenggang rasa (tolerance). Di era modern semua spirit itu mulai luntur. Masyarakat akhirnya terbiasa dengan tema pluralisme, liberalisme dan Hak Asasi Manusia (HAM), yang kesemuanya itu berbau kebarat-baratan (Amerika sentris). Kita seolah lupa, produk lokalitas kita lebih unggul.

Jauh sebelum kita mengenali wacana dan narasi besar yang disisipkan kelompok Asing, kita telah mengenali kerja gotong royong. Semangat tolong menolong, berbagi dan menerapkan kebaikan telah menjadi identitas leluhur kita. Tanpa ada agenda yang diselundupkan, hal itu lebih murni. Kearifan lokal yang ditinggalkan para pendahulu kita mesti digelorakan.

Kurangi mengadopsi cara pandang Eropa atau Amerika yang kapitalis. Kiblat pemikiran kita harusnya diletakkan pada tradisi kebaikan yang pernah ditunjukkan para nenek moyang kita. Beteng sekaligus kekuatan perlawanan kita terhadap gelombang ekspansi pemikiran liberal Barat ada pada nilai kearifan lokal.

Mulai terara sekarang, dimana masyarakat kita disibukkan dengan konflik komunal, konflik suku dan isu-isu primordial lainnya. Akankan kita terus dibenturkan?. Tentu, jika tidak segera sadar diri maka kita dibentur-benturkan terus. Padahal kita semua adalah satu, kita bersaudara. Yang ada hanyalah mudharat dan kerugian yang didapati, bila soal perbedaan primordial kita jadikan perbedaan sampai melahirkan konflik.

Segera sadar, lalu kita rubah haluan berfikir kita. Kitalah masyarakat Indonesia yang punya kearifan lokal. Jangan berlebihan atau bahkan salah tafsir terhadap nasionalisme, yang akhirnya berbuntut pada pengabaian nilai-nilai lokalitas. Kita seolah-olah lebih mendewakan nasionalisme, lalu menyingkirkan kearifan lokal. Disitulah kesesatan berfikir kita. Lekas sadar dan balik arah. Kedepankan, bahwa kearifan local yang perlu diprioritaskan.

Sepantasnya kearifan lokal menjadi di depan dan pengikat persatuan. Melalui kearifan lokal kita menumbuhkan nasionalisme. Jangan dibolak-balik nalarnya. Jangan sampai kita dituding sebagai generasi ahistoris. Sedari awal
Pemahaman soal integrasi itu terlahir dan dibudayakan dari pelosok-pelosok Desa.

Masyarakat di daerah terisolir di Nusantara ini telah terbiasa dengan hidup rukun dan damai, tanpa mengenal gagasan nasionalisme pun mereka telah damai. Kini saat modernitas datang, teknologi mulai dikenalkan ke masyarakat Desa, semua kenyamanan dan ketenteraman itu seperti menghilang.

Pemerintah bertugas bukan sekedar mensosialisasikan nasionalisme. Dengan anggaran dan biaya besar, kegiatan Empat Pilar Kebangsaan dan penguatan wawasan kebangsaan digenjot. Tapi hasilnya apa?, tidak signifikan. Konflik di tengah masyarakat masih saja terjadi. Kekerasan kriminal bahkan begitu meningkat. Tentu ada yang salah. Solusinya, kearifan lokal perlu menjadi tema sentral bangsa kita.

Bagi masyarakat Desa, kearifan lokal merupakan nasionalisme mereka. Lahirnya penghormatan antara sesama, masih didengarnya tokoh-tokoh kharismatik, etika dan kesopanan begitu membudaya. Hal keindahan itu sudah jarang kita temukan di Kota, wilayah Metropolitan telah mereduksi rasa hormat antar sesama. Bila dicek, di Kota sebetulnya intensitas sosialisasi tentang Empat Pilar Kebangsaan dilakukan.

Teriakan saya nasionalisme atau saya Pancasila, akhirnya hanya menjadi suara teriakan semu. Pengakuan yang bernilai rendah dalam implementasinya. Mereka yang teriak dan mengaku paling Pancasilais, juga tak tercermin dalam perilakunya. Para tukang copet uang rakyat (koruptor), rata-rata adalah mereka yang paling mengklaim diri Pancasilais.

Itu artinya, Pancasila bukan menjadi garansi bagi manusia-manusia Indonesia untuk hidup mulia. Bukan penjadi penuntun bagi masyarakat agar tidak mencuri. Para perampas hak-hak rakyat, penyuka kecurangan juga begitu, mereka mengabaikan kearifan lokal. Mengedepankan nasionalisme dan Pancasila, ternyata semua menjadi begitu politis.

Imbasnya kembali ke masyarakat. Itu sebabnya, kita perlu mengajak pemerintah untuk kembali berfikir serius. Saatnya mengangkat nilai kearifan lokal. Melalui kekuatan kearifan lokallah persatuan nasional dapat dibangun. Substansi dari kearifan lokal yaitu kebaikan. Dari perbuatan baiklah akan tertular kemajuan dan pembangunan.

Percuma memimpikan kemajuan, bila pemerintah masih melangkahi atau mengabaikan kearifan lokal. Perubahan besar seperti mewujudkan cita-cita kemerdekaan, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, dapat terlaksana bila persatuan itu dilahirkan. Persatuan tidak pernah dating sendiri. Melainkan diperjuangkan, caranya tentu melalui perubahan kesadaran dengan diterapkannya kearifan lokal.

Ancaman terhadap keutuhan Indonesia memang selalu terbuka. Ketika pemerintah lengah, masyarakat kembali menjadi objek untuk dimanfaatkan kelompok berkepentingan. Bolah saja rekayasa konflik dibuat dan melahirkan konflik-konflik kebudayaan. Inilah yang sangat sensitive. Setelah konflik beraroma agama, berpotensi dialihkan ke konflik kebudayaan (suku, bahasa dan adat istiadat).

Pemerintah harus lebih dahulu mengantisipasi itu. Perkuat integrasi, batasi interaksi isu dan informasi yang mempropaganda masyarakat. Kurangi teriakan-teriakan nasionalisme yang kurang produktif itu. Konflik kebaudayaan adalah adanya pertentangan antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya yang dapat menimbulkan suatu permasalahan atau konflik.

Kearifan lokal kita bumikan dulu. Dan nasionalisme sebentar lagi. Setelah masyarakat kembali terbiasa, akrab dengan kearifal lokal. Sesudah kita membenahi kerisauan masyarakat, mengembalikan kepercayaan diri mereka agar mencintai nilai kearifan lokal. Barulah kemudian, nasionalisme kita genjot lagi. Terapkan nasionalisme tanpa menebar tuduhan dan fitnah bahwa yang lain tidak nasionalisme, dan kitalah yang paling nasionalisme. Karena dikotomi semacam itulah yang membuat nasionalisme menjadi pemicu konflik.

Unsur paling penting dari praktek melestarikan kearifan lokal adalah memupuk ulang kesadaran masyarakat untuk saling rasa memiliki. Ingatkan kembali masyarakat agar besatu. Merasa satu dengan lainnya merupakan saudara. Dengan itu, kita menambah kekuatan lagi dalam proses pembangunan. Kekuatan yang amat penting di era saat ini adalah persatuan.

Nasionalisme yang merupakan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah Negara (nation) dengan mewujudkan sutu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunya tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional. Semangat tersebut tak boleh dipangkas dan dipisahkan dari nilai-nilai kearifan lokal. Nasionalisme menjadi kristalisasi dari kearifan lokal.

Jangan selalu merasa nasionalisme terancam dengan adanya kearifan lokal atau pandangan keagamaan. Itu cara berfikir yang keliru. Nasionalisme sebagai asset besar kita, harusnya diposisikan sebagai bagian superior. Kenapa harus takut akan diancam suatu waktu?. Sebetulnya tantangan nasionalisme itu biasa saja, dan kita harus menghadapinya dengan pikiran cerdas. Bukan marah-marah.

Berhenti menjadi penganut nasionalisme yang rapuh. Menjadi nasionalis hanya untuk tujuan pamer sebaiknya ditiadakan. Bahkan kalau menjadi pengikut nasionalisme yang riya, itu hanya membuat muntah orang berakal. Nasionalisme itu membutuhkan internalisasi yang kuat dan otentik. Bukan pura-pura dan penuh pencitraan. Seperti memakai peci supaya dianggap nasionalis, atau praktek pencitraan lucu lainnya, segeralah dihentikan.

Nasionalisme diterapkan dengan kesederhanaan, bukan kemewahan. Praktek nasionalisme lokalitas yang sebetulnya lebih genuine. Ciri keindonesiaan kita adalah masyarakat agraris, sehingga elitisme menjadi hal yang tidak sejalan dengan gaya hidup kita. Kebiasaan hidup sederhana harus bersenyawa dengan proses penerapan nasionalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun