Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Benarkah Indonesia Failed State, Siapa yang Salah?

30 Maret 2020   11:46 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:44 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas Mahmud (Dokpri)

Apakah ini merupakan akibat telah buruknya citra pemerintah di negara yang bernama Indonesia ini? Berlahan mulailah terurai bahwa motivasi elit pemerintah, boleh jadi, seakan hanya berkeinginan memperkaya diri sendiri, mengamankan kerabatnya, dan mempertahankan posisi kekuasaannya agar tidak direbut orang lain. Distribusi kesejahteraan pada level berikutnya pun menjadi bagian yang tidak penting untuk diperjuangkan pemerintah.

Hanya karena kebutuhan ekonomis, ketidaknyamanan hidup, dan kecurangan yang dilakukan pemerintah telah mengubah wajah rakyat. Itu semua menjadi penyebab utama atas terlahirnya resistensi dari rakyat. Beragam tuntutan rakyat semenjak dari Indonesia merdeka secara de jure hingga kini, kesemuanya tak lain dilatarbelakangi oleh rasa tidak puasnya masyarakat terhadap pemerintah. 

Kondisi demikian, mesti dicarikan jalan keluarnya, bukan dibiarkan atau hanya sekedar direspon secara verbal. parahnya lagi penyampaian aspirasi masyarakat ditafsirkan sebagai wujud dari antipatinya masyarakat pada pemerintah, hal ini tak etis dilakukan pemerintah.

Perang verbalistik juga mulai ramai dalam tiap dialog-dialog ilmiah. Di medsos apalagi. Segmen media massa pada akhinya menjadi wahana strategis untuk pemerintah dan kelompok peduli saling melempar stegmen. Bila kita tengok respon dan sikap presiden indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disaat menyikapi berbagai dinamika kenegaraan, maka sangat banyak ditemukan ungkapan keluhan, curhatan, dan seakan menderita karena bebannya sebagai kepala Negara. 

Hal semacam ini harus menjadi perhatian publik, amanat rakyat sebelum diberikan kepada presiden, terlebih dahulu presiden yang menjabat saat ini telah menyampaikan kesediaannya untuk menjadi presiden dengan pilihan rasionalnya, bukan dipaksa. Sehingga menjadi suatu konsekuensi logis dan ketentuan bagi SBY adalah harus menerima gejolak masyarakat yang ada sebagai tantangan dalam memajukan Indonesia.

Perlu lagi disegarkan dalam memori kita masing-masing bahwa kenyataan terlairnya banyak tuntutan masyarakat dan mulai terdegradasinya kepercayaan masyarakat pada pemerintah di tanah air, semuanya merupakan replikasi dari terakumulasinya kebijakan-kebijakan serta aplikasi kebijakan yang menyulitkan masyarakat dalam hidupnya.

Seperti teori balon, bukan teori bola salju jika dianalogikan perkembangan masyarakat yang terlihat kecewa, tertekan, (baca; frustasi sosial) karena merespon program pemerintah saat ini yang tidak berpihak, maka lambat-laun semuanya akan mengalir pada gelombang pemberontakan sehingga berkemungkinan tak mampu diminimalisir dan dikontrol pemerintah.

Kebuntuan sosial kian mengancam perkembangan Negara ini dari berbagai penjuru. Upaya konsolidasi kebangsaan dan rekonsiliasi sosial seakan menjadi obat mujarab dalam melerai beragam gejolak yang dimuncul ditanah air, tapi pada tahapan selanjutnya semua ini hanya menjadi jualan murahan yang hanya selesai dalam ucapan semata. 

Tak ada satupun komitmen pemerintah yang dapat ditindaklanjuti dengan maksimal, pemerintah selalu saja gemar bermain dalam zona standar ganda.Begitu pula penyelesaian korupsi, konsensus yang diambil pemerintah masih belum terlihat perkembanganya hingga saat ini. Antara perencanaan, wacana dan aktualisasinya tidak sejalan.

Korupsi hanya menjadi kampanye politik pemerintah, yang tentu berperan penting dalam peningkatan pencitraan pemerintah ketika dinilai masyarakat, meski pada konteks realnya semua diplomasi dan retorika pemerintah hanyalah bualan. Bisa diprediksikan ketika makin bermunculannya kecurigaan serta ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah, kejenuhan dan kebencian masyarakat terhadap pemerintah pun akan hadir beriringan. 

Sehingga berpeluang memicu kontradiksi sosial yang bersifat vertikal (hierarki), struktur pemerintahan akibatnya tidak lagi memiliki pengaruh apa-apa dimata masyarakat. Kasus skandal Bank Century, meluapnya lumpur lapindo, kasus penolakan massal para buruh Freeport di Papua, dan kekerasan rakyat sipil di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun