Beragam masalah kenegaraan lainnya, menunjukkan begitu tak pekanya pemerintah di republik ini pada kaum musthada'fin. Dalam skala nasional korupsi akhirnya dicloning dan diadop ke daerah-daerah di Indonesia, pada bagian selanjutnya agresifitas korupsi malah terlihat lebih berjalan sistemik ketimbang upaya untuk membangunkan Negara Indonesia menuju kesejahteraan dan rekonsiliasi nasional.
Ketika di ditelaah, ternyata penyakit yang di derita Negara Indonesia tak lain adalah penyakit krisis moral, yakni terjadinya pencurian uang rakyat (korupsi), yang sukses mengantar Negara pada kebangkrutan nasional. Sikap dekonstruktif ini diakui memiliki peran dominan dalam mendorong Negara menuju tatanan kemiskinan nasional, monopoli perseorangan yang membawa kesengsaraan bagi masyarakat luas.Â
Meski kita belum bisa berharap lebih pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan(BPK), dan Penegak hukum yang masih terlihat berada dibawa kontrol pimpinan Negara, minimal diperbiasakan dalam diri kita untuk menjauhi sikap keserakahan ini.
Tentang independensi institusi yang dibentuk Negara pun, dalam prakteknya dilapangan malah belum berani menghantam kasus korupsi yang terindikasi melibatkan elit-elit pemerintah. Kiranya Tuhan menggerakkan dan menunjukkan jalan yang benar bagi para koruptor.
Akhirul kalam, dari tulisan sederhana yang menjadi wujud keresahan penulis selaku pegiat literasi adalah "tanda bahaya". Tulisan yang permah dimuat media online Beritamanado.com, Jumat 30 Agustus 2013 ini juga bisa menjadi penanda bahwa pemerintah kita masih punya banyak tugas mulia yang perlu dituntaskan. Jangan diam dan tidur. Indonesia yang sangat kaya raya ini harus dikelola secara profesional, baik dan benar. Bukan amatiran yang penuh dengan politik geng.