Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilih Pemimpin Populis, Bukan yang Hipokrit

10 Januari 2020   19:17 Diperbarui: 11 Januari 2020   11:43 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi politik | Dok. pribadi

RELATIF banyak kita menyaksikan model kepemimpinan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Mereka tampil dengan tipikal dan karakternya masing-masing. Ada pemimpin ideal yang didambakan rakyat, tapi nyaris sulit ditemui. Ada pemimpin hipokrit (munafik), pikun, arogan dan sombong. 

Ada pula pemimpin yang santun berucap, namun kasar dalam kerja-kerjanya. Karena mencederai hati rakyat dengan kebijakan yang menyusahkan rakyat. Ada pemimpin penurut, tapi yang ia turuti adalah selera pendonor (investor) yang mungkin pernah berjasa padanya. Sementara rakyat menghendaki pemimpin yang peka pada segala kebutuhan dasarnya. 

Baik kebutuhan dalam soal pangan, keadilan, keamanan, kemanusiaan dan persatuan harus selaras diterapkan pemerintah. Semua hal urgen itu mestinya wajib diwujudkan pemerintah. Bukan lagi dalam tahap bayang-bayang dan verbal.

Publik harus bersama mendorong terlahirnya pemimpin merakyat. Bukan pemimpin hipokrit yang hanya membegali kepercayaan dan dukungan rakyat. Perlu skenario yang tepat guna mewujudkan kepemiminan merakyat. 

Jangan rakyat dihipnotis, diajak memilih pemimpin yang berwatak kanibal. Sebab berbahaya nantinya. Setelah memilih, pemimpin itu balik menerkam rakyat. Artinya rakyat harus selektif jangan tertipu. Perlu standar dan rasionalitas memang, jangan memberi ruang bagi pemimpin kanibal dan penipu yang nanti memakan bangkai rakyat sendiri.

Mencari pemimpin populis, kita perlu peta dan penanda yang jelas. Karena ketika demokrasi didesain kapitasi dan kelompok elit. Konsekuensinya, proses berdemokrasi hanya sekedar formalitas. Kemenangan atau hasil akhirnya telah dikondisikan. Berpeluang penuh rekayasa dan deviasi demokrasi.

Tak boleh diposisikan rakyat sebagai layer pelengkap penderita. Rakyat harus ditaruh pada aras yang istimewa. Karena kedaulatan demokrasi itu berada ditangan rakyat, elit politik dan pemerintah perlu merefleksikan itu. 

Pasalnya, dalam realitas sosial aspirasi rakyat sering kali menjadi tidak prioritas. Malah yang didahulukan adalah kepentingan perorangan dan kelompok tertentu. Faktor inilah yang melahirkan penolakan rakyat serta konflik kepentingan terjadi. Jika pemerintah telah sadar, lalu menaruh kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadinya, maka resistensi sosial akan terhindarkan.

Rakyat memang juga mengerti tentang blue print pembangunan, yang secara perencanaannya populis. Sedihnya, dalam tahap penerapan malah terjadi bias. Evaluasi kebijakan pemerintah hanya sekedar menjadi rutinitas formal. Dimana dari aspek prakteknya tidak juga mengalami kemajuan signifikan.

Cara mengukurnya sederhana dengan memperbandingkan visi pemerintah dengan clue (petunjuk) kerja di lapangan. Yang ditemukan malah terjadi penyimpangan, kurang maksimalnya kinernya, bahkan terjadi komersialisasi program.

Semula program yang bersifat populis menjadi hanya bersifat menguntungkan pihak-pihak tertentu. Perencanaan kerakyatan, malah prakteknya menjadi sangat kapitalis. Cela terjadinya ketidakmajuan pembangunan diantaranya dari momentum-momentum seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun