Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Era Digitalisasi dan Konsekuensi Demokrasi

18 Oktober 2019   18:56 Diperbarui: 20 Oktober 2019   18:05 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi di era digital| Sumber: www.freepik.com dengan penambahan edit dokumentasi pribadi

SELALU ada inovasi, kejutan, dan kehebohan di dunia digital. Demokrasi kita dimudahkan dengan akselerasi digital. Sayangnya, era digital tidak dimanfaatkan betul untuk kemaslahatan bersama, karena yang terjadi malah deviasi.

Demokrasi di era digital melahirkan carut-marut. Program pemerintah yang seharusnya disosialisasikan melalui instrumen digital. Malah kebanyakan tidak berjalan optimal. Entah apa kendala utamanya.

Era digital mestinya memacu pemerintah kerja cepat dan transparan. Begitu pula masyarakat. Agar masyarakat tidak kesulitan mengakses informasi. Publik bisa mengetahui program pemerintah. 

Situasi saat ini menjelaskan bahwa masih ada yang macet. Ada kesenjangan, antara harapan dan kenyataan.

Lalu siapa yang disalahkan? Kalau pemerintah tidak agresif bekerja. Tentu yang akan menolong pemerintah adalah keseriusan dan kerja tim. Era digital membuat sesuatu yang dekat, menjadi jauh. 

Keunggulan digital layaknya dimanfaatkan. Digitalisasi idealnya memotong spasi antara pemerintah serta masyarakat. Bukan menciptakan tembok kokoh.

Ulasan selanjutnya. Terkait insiden postingan kontroversi dan konten yang viral di jejaring sosial media, menjadi catatan hitam. Tak jarang melahirkan tragedi. 

Kalau beruntung, Anda mendapat pujian. Bila ditimpa sial, Anda akan dicaci atau dicibir. Bahkan sampai-sampai Anda dilaporkan ke pihak berwajib karena kelalaian.

Ada pula yang melahirkan perhatian. Membuat publik ramai-ramai bersimpati. Kadang lucu, ringkasnya dunia digital itu "berwajah ganda". Seperti viralnya video baru-baru ini. Dimana ada pertemuan Jokowi dan Prabowo di Istana yang unik.

Lalu terlihat Bang Ali Mochtar Ngabalin yang mau masuk ruangan pertemuan. Sayangnya tidak diperkenankan masuk. Judulnya, "Detik-detik Ali Ngabalin Diusir dari Istana". 

Lucu-lucu menggelitik. Luar biasa, perkembangan dunia digital dewasa ini. Membaca siklus itu, harusnya para pengguna digital tidak perlu serius-serius amat.

Tidak mudah menjaga originalitas di era digital. Begitu pun komprehensifnya sebuah pesan di era ini. Waspadalah, banyak tukang edit, buzzer, peretas atau hacker, dan oknum yang nakal membuat dunia digital bagai horor. 

Sesuatu yang beredar di media sosial, kalau tidak difilter baik-baik menjadi petaka. Tak dilakukan konfirmasi, yang kita terima bisa jadi informasi hoax. Proses tambal-sulam.

Hal benar, dibuat salah. Sebaliknya pula, sesuatu yang salah dibuat menjadi benar. Demokrasi kita berada di area itu. Yang tantangannya cukup cepat, juga beragam. Bila kebebasan demokrasi dilakukan secara tanpa batas, akan menjadi kesalahan fatal.

Keteraturan sosial bisa terkikis dengan kondisi-kondisi seperti itu. Demokrasi dihadang gelombang yang kencang. Ketika masyarakat mengalienasi diri dari perkembangan, mereka menjadi orang aneh di eranya. Artinya, masyarakat juga perlu realistis dan adaptif.

Pengetahuan yang utuh, kompleks, dan universal menjadi singkat. Pengguna medsos berpotensi meringkas waktu. Meringkas cerita dan peristiwa. Masyarakat yang labil akan terbawa arus kecepatan informasi dengan kecanggihan digital.

Itu sebabnya, masyarakat perlu diberi literasi. Era dimana manusia hebat bisa menjadi lemah. Seperti itu juga sebaliknya, orang lemah dan tak berdaya bisa menjadi superpower. Demokrasi di era digital membawa sampah peradaban.

Ada konten digital yang amoral. Mudah diakses publik, kata-kata sarkas beredar di sana. 

Bagi masyarakat di era digital perlu dibangun benteng dan tirai guna memilah informasi. Baik dan buruknya informasi atau pengetahuan sukar dipisahkan.

Masyarakat yang terdidik dengan literasi digital akan paham itu. Tapi, bagi mereka yang belum mendapatkan pencerahan digital, akan menjadi korban. 

Konsekuensi-konsekuensi modernitas memang melahirkan tumbal. Tidak mudah kehidupan di era digital ini.

Bahkan sudah ada Desa Global. Dimana ada kemudahan bagi mereka yang mau berekreasi, misalnya bisa dengan mudah menemukan spot di internet seperti yang mereka suka. Problem akutnya mudah melahirkan salah paham.

Perkembangan digitalisasi juga melahirkan budak. Para budak-budak itu bisa bermetamorfosa menjadi pengusaha bisnis online. 

Umumnya mereka yang menggantungkan "hidupnya dari dunia digital. Mereka menyadari bahwa digital sebagai alat mencapai kesejahteraan dan membawa manfaat.

Pemerintah harus turun tangan. Perbanyak konten-konten edukasi. Jangan membiarkan dinamika digital menjadi tercemar dengan caci maki dan adu domba. Kemajuan digital perlu direkayasa menjadi kekuatan penopang demokrasi. Bukan malah melemahkan demokrasi. 

Era digitalisasi juga menjadi bagian dari konsekuensi-konsekuensi demokrasi. Spirit demokrasi yang meletakkan manusia dengan potensi merdeka, melahirkan kreativitas. 

Semua manusia demokrasi berpeluang mencipta dan melahirkan karya. Digital sebagai suatu dari karya itu. Simbol kemajuan peradaban.

Konsekuensi lainnya ialah terlahir kerawanan. Ini ditimbulkan karena kebebasan yang kian terbuka.

Plagiat dan repetisi ide-ide orang lain di era digital sulit terjangkau atau dibedakan. Namun itulah fakta kemajuan yang ditandai dengan bahaya, ancaman serta jebakan. 

Mereka yang mengerti kecanggihan digital, biasanya menggenggam dunia. Akan binasa mereka yang tidak memahami. Sok tau. Lantas terperangkap di dalamnya. 

Mari kita jinakkan perkembangan digital yang cenderung liar dan buas. Dekatkan dengan ilmu pengetahuan. Lihat asas manfaatnya.

Bertumbuhnya perkembangan digital harus kita baca peluang dan ancamannya. Selaku manusia kita mengerti tidak semua kemajuan zaman itu baik adanya. Hal serupa juga akan kita temui di tengah kehidupan masyarakat non-digitalisasi. 

Sementara itu, demokrasi di era digital akan membuat segala pelayanan publik menjadi mudah. Ketika kita sedikit menyinggung itu. Konsep seperti e-government turut mendekatkan masyarakat. 

Bahkan pemilu pun kita akan menggunakan sistem e-voting atau elektronik voting. Meski di Indonesia sendiri kita belum sampai ke level itu. Insya Allah pada Pemilu yang akan datang. [*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun