9.Pertaruhan Nasib
Setiap hari dari pagi hingga petang Pak Bahri berkeliling masuk dan keluar komplek perumahan, masuk gang keluar gang dengan sebuah gerobak dorongnya. Kedua lengan gerobak itu ia tarik dengan kedua tangannya. Jika sudah merasa lelah, Pak Bahri selalu mendorong gerobaknya dengan langkah yang tertatih-tatih. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya, karena panasnya sinar matahari.
Ada terompet pencet yang terbuat dari balon berwarna-biru, yang diselipkan di tangan kirinya. Setiap dua-tiga langkah ia pencet terompet itu.
Peeett………….peeett….peeett…….peeett….. . Itu artinya : “Oiii!!! …. ada Pak Bahri lewat, mencari barang bekas apa saja asal bisa laku dijual.” Uangnya buat beli beras dan lauk pauk untuk disantap di rumah bersama anak-anak dan istrinya.
Sesungguhnya usaha Pak Bahri ini adalah usaha untung-untungan. Usaha yang tidak pasti. Usaha pertaruhan nasib. Kadang Pak Bahri memperoleh keuntungan dari usaha ini, tapi seringkali tidak memuaskan. Tapi mau usaha apa lagi, pikir Pak Bahri, ketika memutuskan untuk memilih jadi tukang rongsokan.
Dulu, sekitar lima tahun yang lalu, Pak Bahri pindah ke kota, dengan harapan kondisi kehidupannya akan lebih baik. Ia menjual semua hak miliknya di desa berupa sepetak tanah, dan rumahnya yang sederhana.
Sesampai di kota, untungnya Pak Bahri terlebih dahulu membeli sebuah rumah semi permanen di sebuah gang yang kini jadi alamatnya. Sisa uangnya ia gunakan untuk membuka warung klontongan, yang menyediakan kebutuhan sehari-hari. Karena pengelolaannya kurang baik, akhirnya hanya dalam waktu kurang dua tahun, warungnya tutup. Setelah itu cukup lama Pak Bahri menganggur.
Singkat cerita, karena kondisi ekonomi Pak Bahri semakin melemah, kakak Dian, Toni Parjito terpaksa ikut Pak Le’ nya di kota lain. Saat libur saja Parjito pulang berkumpul dengan kedua adiknya atau libur panjang kenaikan kelas.
Sementara itu, istri Pak Bahri, ibu dari tiga anak ini sering sakit-sakitan, tak bisa lagi membantu suaminya seperti dulu, sekedar menambah penghasilan menjadi tukang cuci. Kini mereka hidup di perkotaan dengan beban hidup yang makin berat.