Mohon tunggu...
Akung Be
Akung Be Mohon Tunggu... Pelajar Sepanjang Hayat

Pejuang Calistung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Biaya Transportasi Bukan Semata Tentang Ekonomi Penglajo?

11 Agustus 2025   21:22 Diperbarui: 16 Agustus 2025   04:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus Trakhir, Terpantau 2 Tahun Yang Lalu (Sumber: Youtube)

Awal Kehidupan Penglajo

Tahun 1993, saya memulai kehidupan sebagai penglajo---atau "lajon" dalam istilah lokal Yogyakarta dan sekitarnya---sebutan bagi mereka yang pergi-pulang kerja setiap hari. Status ini saya sandang saat menjadi pegawai baru di sebuah instansi. Setiap hari saya menempuh perjalanan sejauh 25 km dengan ongkos metro bus Rp400. 

Meski tampak kecil hari ini, ongkos itu terasa mahal, apalagi jika dibandingkan dengan tarif bus Yogyakarta--Solo sejauh 70 km yang hanya Rp700 saat itu. Perbedaan tarif ini bukan semata jarak, melainkan ukuran bus. Jalur Solo--Yogya dilayani bus besar, sementara jalur saya menggunakan bus sedang. 

Maka berlakulah teori economies of scale---semakin besar volume produksi, semakin rendah biaya per unit. Bus besar dan bus sedang sama-sama memerlukan tiga awak: sopir, kondektur, dan kenek. Namun, dengan kapasitas lebih besar, biaya tetap bisa dibagi lebih efisien.

Strategi Kolektif Penglajo

Kesan mahal itu berubah ketika saya melihat penglajo senior, terutama para ibu, hanya membayar Rp500 untuk dua orang. Mereka menggabungkan ongkos pergi-pulang, menciptakan efisiensi hingga 50%. 

Saya pun ikut menjadi follower, belajar dari strategi kolektif mereka. Di sinilah ekonomi rumah tangga mulai beradaptasi dengan realitas transportasi. Solidaritas menjadi alat bertahan.

Diskriminasi Tarif di Jalur Wisata

Jalur kami beririsan dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur. Dalam ekonomi pariwisata, ada fenomena tourist trap---harga barang dan jasa dipatok tinggi karena wisatawan dianggap hanya datang sekali dan tidak punya referensi harga. 

Kondektur pun menciptakan kasta penumpang: wisatawan asing di puncak, lalu wisatawan domestik, pegawai penglajo, dan anak sekolah. Tarif tertinggi diterapkan pada wisatawan asing, dan tarif terendah untuk anak sekolah. Tanpa informasi tarif yang jelas, diskriminasi harga terjadi secara bebas.

Dampak Akuisisi dan Over-Supply

Pada 1990-an, dibuka trayek langsung Yogyakarta--Borobudur. Sebelumnya, wisatawan pengguna bus umum harus transit di Muntilan atau Magelang. Seorang pengusaha muda memulai dengan belasan bus baru, dan jalur ini langsung gemuk---penumpang selalu penuh. 

Namun, kesuksesan ini memicu akuisisi oleh pengusaha besar, disusul koperasi angkutan, dan terakhir pengusaha lama yang memindahkan trayeknya. Sayangnya, yang terakhir masuk membawa bus bukan baru dan sering mogok. 

Over-supply pun terjadi. Bus dijalankan ugal-ugalan untuk berebut penumpang. Kenyamanan dan keselamatan terabaikan. Perjalanan berubah menjadi siksaan dan ketakutan. 

Saatnya sudah terlambat untuk rekomendasi kebijakan: izin trayek baru seharusnya mensyaratkan armada baru dan memperhitungkan jumlah penumpang. Tapi karena trayek ini kini mati, rekomendasi itu tinggal kenangan.

Kemunduran Transportasi Umum

Persaingan tak sehat, kredit motor yang mudah, hadirnya shuttle bus, dan transportasi online seperti Gojek dan Gocar membuat layanan bus umum di jalur ini mati. Kematiannya mengiringi model pelayanan yang tidak mengutamakan kenyamanan penumpang. 

Transportasi umum pun memenuhi definisi jasa inferior---permintaannya menurun saat pendapatan naik. Ketika seseorang mampu membeli kendaraan pribadi atau membayar shuttle bus, mereka meninggalkan angkutan umum.

Ketimpangan Dampak Transportasi

Nasib penglajo berubah. Dari terjepit di sela ketiak penumpang, kini ada tunjangan transportasi, bus karyawan, motor dinas, atau bahkan mobil dinas plus BBM dan biaya perawatan. 

Kombinasi fasilitas itu membuat pertanyaan "berapa persen gaji untuk transportasi" menjadi tidak relevan. Yang ada hanya cukup dan cukup. 

Namun, yang tereliminasi adalah ribuan awak bus: sopir, kondektur, kenek. Mereka punya keluarga, anak, dan harapan. Ketika moda transportasi mati, yang hilang bukan hanya kendaraan, tapi juga kehidupan.

Transportasi Cermin Keadilan Sosial

Transportasi bukan sekadar alat mobilitas, tapi cermin keadilan sosial. Ketika layanan publik mati karena tata kelola yang buruk dan persaingan tak sehat, yang terdampak bukan hanya penumpang, tapi juga para pekerja di balik roda. 

Sudah terlambat saat kita memikirkan transportasi sebagai hak, bukan pilihan. Agar penglajo tetap bisa bekerja dengan layak, dan awak bus tetap bisa hidup dengan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun