Dampak Akuisisi dan Over-Supply
Pada 1990-an, dibuka trayek langsung Yogyakarta--Borobudur. Sebelumnya, wisatawan pengguna bus umum harus transit di Muntilan atau Magelang. Seorang pengusaha muda memulai dengan belasan bus baru, dan jalur ini langsung gemuk---penumpang selalu penuh.Â
Namun, kesuksesan ini memicu akuisisi oleh pengusaha besar, disusul koperasi angkutan, dan terakhir pengusaha lama yang memindahkan trayeknya. Sayangnya, yang terakhir masuk membawa bus bukan baru dan sering mogok.Â
Over-supply pun terjadi. Bus dijalankan ugal-ugalan untuk berebut penumpang. Kenyamanan dan keselamatan terabaikan. Perjalanan berubah menjadi siksaan dan ketakutan.Â
Saatnya sudah terlambat untuk rekomendasi kebijakan: izin trayek baru seharusnya mensyaratkan armada baru dan memperhitungkan jumlah penumpang. Tapi karena trayek ini kini mati, rekomendasi itu tinggal kenangan.
Kemunduran Transportasi Umum
Persaingan tak sehat, kredit motor yang mudah, hadirnya shuttle bus, dan transportasi online seperti Gojek dan Gocar membuat layanan bus umum di jalur ini mati. Kematiannya mengiringi model pelayanan yang tidak mengutamakan kenyamanan penumpang.Â
Transportasi umum pun memenuhi definisi jasa inferior---permintaannya menurun saat pendapatan naik. Ketika seseorang mampu membeli kendaraan pribadi atau membayar shuttle bus, mereka meninggalkan angkutan umum.
Ketimpangan Dampak Transportasi
Nasib penglajo berubah. Dari terjepit di sela ketiak penumpang, kini ada tunjangan transportasi, bus karyawan, motor dinas, atau bahkan mobil dinas plus BBM dan biaya perawatan.Â
Kombinasi fasilitas itu membuat pertanyaan "berapa persen gaji untuk transportasi" menjadi tidak relevan. Yang ada hanya cukup dan cukup.Â