Awal Kehidupan Penglajo
Tahun 1993, saya memulai kehidupan sebagai penglajo---atau "lajon" dalam istilah lokal Yogyakarta dan sekitarnya---sebutan bagi mereka yang pergi-pulang kerja setiap hari. Status ini saya sandang saat menjadi pegawai baru di sebuah instansi. Setiap hari saya menempuh perjalanan sejauh 25 km dengan ongkos metro bus Rp400.Â
Meski tampak kecil hari ini, ongkos itu terasa mahal, apalagi jika dibandingkan dengan tarif bus Yogyakarta--Solo sejauh 70 km yang hanya Rp700 saat itu. Perbedaan tarif ini bukan semata jarak, melainkan ukuran bus. Jalur Solo--Yogya dilayani bus besar, sementara jalur saya menggunakan bus sedang.Â
Maka berlakulah teori economies of scale---semakin besar volume produksi, semakin rendah biaya per unit. Bus besar dan bus sedang sama-sama memerlukan tiga awak: sopir, kondektur, dan kenek. Namun, dengan kapasitas lebih besar, biaya tetap bisa dibagi lebih efisien.
Strategi Kolektif Penglajo
Kesan mahal itu berubah ketika saya melihat penglajo senior, terutama para ibu, hanya membayar Rp500 untuk dua orang. Mereka menggabungkan ongkos pergi-pulang, menciptakan efisiensi hingga 50%.Â
Saya pun ikut menjadi follower, belajar dari strategi kolektif mereka. Di sinilah ekonomi rumah tangga mulai beradaptasi dengan realitas transportasi. Solidaritas menjadi alat bertahan.
Diskriminasi Tarif di Jalur Wisata
Jalur kami beririsan dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Borobudur. Dalam ekonomi pariwisata, ada fenomena tourist trap---harga barang dan jasa dipatok tinggi karena wisatawan dianggap hanya datang sekali dan tidak punya referensi harga.Â
Kondektur pun menciptakan kasta penumpang: wisatawan asing di puncak, lalu wisatawan domestik, pegawai penglajo, dan anak sekolah. Tarif tertinggi diterapkan pada wisatawan asing, dan tarif terendah untuk anak sekolah. Tanpa informasi tarif yang jelas, diskriminasi harga terjadi secara bebas.