Banyak orang tua dan guru berpikir bahwa memuji anak sudah cukup untuk membuatnya percaya diri. Padahal, apresiasi dan pujian adalah dua hal berbeda. Apresiasi menumbuhkan karakter dan kesadaran diri, sementara pujian bisa membuat anak bergantung pada penilaian luar.
Pernahkah Anda merasa kagum pada anak yang melakukan hal kecil tapi bermakna - seperti membereskan mainannya tanpa disuruh, atau membantu adiknya dengan sabar - lalu kita hanya berkata, "Bagus, kamu anak baik," dan berlalu begitu saja?
Saya pernah. Tapi kemudian saya sadar, ternyata yang dibutuhkan anak bukan hanya pujian, melainkan apresiasi.
Pujian dan apresiasi sekilas tampak serupa. Keduanya sama-sama berupa ucapan positif. Namun, di balik kata yang manis itu, tersembunyi perbedaan yang besar. Pujian menilai, sedangkan apresiasi memahami.
Pujian berfokus pada hasil, sementara apresiasi berfokus pada proses, usaha, dan nilai yang terkandung di balik tindakan.
Pujian yang Menjebak, Apresiasi yang Menumbuhkan
Bayangkan ketika seorang santri mendapatkan nilai sempurna dalam hafalan Al-Qur'an. Kita mungkin spontan berkata,
"Kamu memang anak paling pintar!"
Namun bandingkan dengan kalimat ini:
"Kamu belajar dengan konsisten dan menjaga hafalanmu dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah, Allah paring nilai yang bagus untukmu."
Kedua kalimat sama-sama positif, tapi dampaknya berbeda. Kalimat pertama menanamkan keyakinan bahwa kepintaran adalah bawaan - inilah yang disebut fixed mindset. Sedangkan kalimat kedua menegaskan bahwa keberhasilan adalah buah dari usaha dan kesungguhan - ini yang disebut growth mindset.
Anak yang terbiasa diapresiasi akan tumbuh dengan semangat belajar dan keberanian untuk mencoba lagi. Ia tidak takut gagal, karena tahu bahwa nilai dirinya tidak ditentukan oleh hasil, tapi oleh kesungguhan hatinya.