Mohon tunggu...
budi muhaeni
budi muhaeni Mohon Tunggu... Penulis

saya masih rutin jogging untuk 10 km; saya tertarik dengan topik-topik kepemimpinan, psikologi, dan perilaku; saya juga menggemari bacaan atau cerita-cerita tentang hikmah kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Tak Ada Keluarga yang Sempurna, Tapi Ada Cinta yang Terus Bertumbuh

10 Oktober 2025   22:09 Diperbarui: 11 Oktober 2025   15:43 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak Ada Keluarga yang Sempurna, Tapi Ada Cinta yang Terus Betumbuh

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, ketika waktu terasa berjalan terlalu cepat dan hati manusia sering kali tertinggal, kita kerap lupa pada tempat paling sakral dalam hidup: rumah. Di sanalah setiap insan pertama kali belajar tentang cinta, kesabaran, dan pengorbanan. Dan di tengah rumah itu, berdirilah sosok yang menjadi poros kasih sayang - seorang ibu.

Nabi pernah ditanya, "Kepada siapa aku harus berbakti?" Beliau menjawab tiga kali, "Ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu." (HR. Bukhari dan Muslim). Tiga kali pengulangan itu bukan kebetulan. Ia adalah penegasan spiritual bahwa di balik keletihan seorang ibu, tersimpan pintu surga. Ibu bukan hanya yang melahirkan, tetapi yang menumbuhkan, mendoakan, dan memeluk tanpa syarat. Ia adalah sekolah pertama yang mengajarkan cinta sebelum kata.

Menjadi ibu bukan soal kesempurnaan. Dunia modern sering menuntut ibu untuk menjadi serba bisa -pekerja keras di kantor, pengasuh sabar di rumah, sekaligus pribadi yang selalu bahagia. Padahal, No mother's perfect. Ibu yang "cukup baik" adalah yang hadir dengan kesadaran, bukan yang sempurna tanpa cela. Ia boleh lelah, boleh menangis, bahkan boleh salah - karena dari sanalah anak belajar bahwa manusia tumbuh melalui proses, bukan dari citra tanpa cacat.

Namun, keluarga yang kokoh tak hanya bertumpu pada kasih seorang ibu. Ia juga memerlukan keseimbangan peran seorang ayah - pelindung, penuntun, sekaligus mitra sejajar dalam mendidik anak. Rumah tangga yang sehat lahir dari harmoni, bukan dominasi. Suami dan istri ibarat dua sayap burung: tak akan terbang jika hanya satu yang kuat. Komunikasi yang hangat, penghargaan yang tulus, dan kemampuan mendengar tanpa menghakimi adalah fondasi yang membuat keluarga bertahan di tengah badai zaman.

Cinta dalam keluarga bukan hanya perasaan, melainkan keputusan yang diperbarui setiap hari. Dalam teori keintiman, cinta terdiri dari passion, intimacy, dan commitment. Ketiganya hanya hidup jika disiram dengan empati dan kesabaran. Ketika istri mengeluh, suami tidak perlu langsung memberi solusi; cukup hadir dengan telinga dan hati. Ketika anak berbuat salah, orang tua tidak perlu menghukum berlebihan; cukup arahkan dengan kasih dan doa. Karena dalam setiap luka kecil di hati anak, bisa lahir dinding emosional yang tinggi -atau pelajaran hidup yang lembut, tergantung cara orang tua menanggapinya.

Komunikasi menjadi jembatan utama keluarga. Banyak konflik rumah tangga bukan berasal dari perbedaan besar, tetapi dari salah paham kecil yang diabaikan. Maka, biasakanlah berbicara dari hati, bukan dari amarah. Kalimat sederhana seperti, "Ayah merasa khawatir kalau kamu pulang terlalu malam, karena Ayah ingin memastikan kamu aman," jauh lebih efektif daripada teriakan atau diam berkepanjangan.

Di era digital ini, tantangan keluarga semakin kompleks. Gawai dan media sosial menggerus waktu tatap muka, menciptakan jarak di antara orang yang sebenarnya dekat. Kita duduk di meja makan bersama, tapi mata tertuju pada layar. Padahal, sebaik-baik pendidikan adalah kehadiran yang nyata. Maka, sesekali letakkan ponsel, tatap wajah anak-anak, dengarkan kisah mereka dengan penuh perhatian. Dari situ, kehangatan keluarga akan kembali tumbuh.

Tak kalah penting, keluarga juga perlu bijak dalam mengelola keuangan. Banyak rumah tangga yang retak bukan karena kurang cinta, tetapi karena gaya hidup yang tak terkendali. Menjalani hidup sederhana bukan berarti kekurangan, melainkan kebijaksanaan dalam menata prioritas. Rasulullah pun mengajarkan keseimbangan: bekerja keras untuk dunia, tapi tidak lalai pada akhirat.

Keluarga sejatinya adalah miniatur masyarakat. Jika di rumah tumbuh kejujuran, kesabaran, dan kasih sayang, maka bangsa pun akan kuat. Di sanalah nilai-nilai luhur seperti saling menghargai, tanggung jawab, dan keadilan pertama kali diajarkan - bukan lewat ceramah panjang, tetapi lewat contoh sehari-hari. Anak belajar dari cara ayah berbicara pada ibu, dari cara ibu menghormati ayah, dan dari bagaimana keduanya memaafkan satu sama lain.

Pada akhirnya, rumah bukan sekadar tempat berteduh, tetapi tempat hati pulang dan jiwa disembuhkan. Di situlah cinta diuji dan iman dibentuk. Maka jagalah rumah dengan doa, sabar, dan kasih - karena di sanalah awal peradaban dimulai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun