“Padahal Amerika dan Inggris adalah negara yang paling ditakuti di dunia. Tapi Bung Karno nggak gentar. Dia justru mengajarkan pada kita untuk menjadi bangsa yang berkarakter.”
Saya masih juga terdiam.
“Segala hal yang berbau barat, dia tolak. Karena Bung Karno yakin bahwa kita mampu berkompetisi dengan negara manapun.”
Masih panjang lagi pidato Ayah tentang kebanggaan pada negeri sendiri. Dia bisa ngoceh berjam-jam kalo udah ngomongin soal nasionalisme, dan saya pun nggak pernah bosan ngedengernya. Dari sekian banyak omongan Ayah yang paling nempel di otak adalah, hakikat sebuah negara yang berdaulat adalah berkompetisi dengan negara-negara lain. Jadi semangat kompetisinya itu yang paling diperlukan.
Ayah saya udah almarhum sejak bertahun-tahun yang lampau. Cita-citanya yang begitu mulia sedikit banyak tertanam di jiwa saya. Apakah semangat berkompetisi dengan negara lain sudah tercapai?Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi di negeri ini?
Waduh! Rupanya harapan Bung Karno dan Ayah sama sekali nggak terkabul. Semangat berkompetisi bangsa kita dengan negara-negara lain sama sekali tidak terlihat. Bahkan sepertinya negara-negara barat telah berhasil mencuci otak rakyat Indonesia untuk berorientasi ke barat, dan cenderung melupakan akar negerinya sendiri. Ga percaya? Yuk kita bahas satu persatu.
Misalnya soal makanan. Sekarang ini kalo kalian makan makanan lokal, kita suka diejek sama temen-temen. Saya setiap hari bawa makanan dari rumah. Setiap kali saya membuka termos makanan, selalu aja ada yang komentar, “Wah lokal melulu makanannya?” Entah kenapa orang lebih bangga makan pizza daripada martabak. Lebih suka spaghetty daripada mie goreng. Lebih suka steak daripada rendang. Orang merasa lebih gaya pergi ke restoran Jepang atau Italy daripada restoran lokal.
Setiap kali ada obral barang bermerk, kantor langsung kosong. Jam makan siang pulangnya telat gara-gara antri ke outlet Zara, Nike, Mango, Esprit, Guess dll. Pernah saya ngeliat antrian sepatu merk Crocks buatan Tiongkok di Senayan City. Ya ampun! Tokonya ada di lantai 8, tapi antriannya membludak sampai ke tingkat 1. Padahal sepatu Cibaduyut ga kalah bagus loh. Kalo ga percaya, tanya aja tuh sama calon preseiden kita Jusuf Kalla.
Di negeri ini, kita udah jarang menemukan nama Bondan, Wulan, Nurul dan lain-lain. Nama anak jaman sekarang rata-rata berbau barat. Ada yang namanya Patrick, ada yang namanya Nadine, Rebecca, Kent, Patricia, Nicole dan masih banyak lagi.
Soal bahasa. Kayaknya kita udah ga bangga lagi dengan bahasa sendiri. Semua orang ngomong bahasa inggris. Bahkan yang ga bisa bahasa inggris pun ngomong bahasa gado-gado alias ngomong bahasa Indonesia dicampur-campur dengan bahasa inggris. Pernah di sebuah restoran saya mengalami peristiwa yang kocak sekaligus miris. Ceritanya, saya mau ngerokok tapi di meja ga ada asbak. Lalu saya pun memanggil waiter.
“Mas, pinjem asbak dong.” kata saya.