Mohon tunggu...
Sony Budiarso
Sony Budiarso Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Menulis untuk melihat dunia

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Viralisme, Dilema Jurnalis dan Media Masa Kini

15 November 2020   22:34 Diperbarui: 15 November 2020   23:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media KontemporerSumber: maxmanroe.com

 

"Journalism without a moral position is impossible. Every journalist is a moralist. It's absolutely unavoidable. A journalist is someone who looks at the world and the way it works, someone who takes a close look at things every day, someone who represents the world, the event, for others. " Marguerite Duras

Kiranya begitulah, definisi seorang jurnalis, moralis yang sejatinya melihat bagaimana dunia bekerja dari berbagai sisi, menjadi saksi sekelumit kisah peradaban yang rumit dan monoton, hitam dan putih, yang kemudian menarik untuk dibaca---tulisan. Jurnalisme dan media saat ini telah mengalami banyak transisi dari konvensional menuju kontemporer.

Media yang awalnya hanya sebagai penyedia warta cetak, kini juga menjadi penyedia warta berbasis online. Begitu juga bagi Jurnalis, perkembangan teknologi informasi seakan menjadi sebuah tantangan yang cukup berarti.

Jurnalis dituntut mampu bekerja dengan memadukan kemampuan antara prinsip kewartawanannya dengan perkembangan terkini seputar media kontemporer. Begitulah definisi Jurnalisme Kontemporer, Jurnalisme yang tak jauh dari kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi tak ayal membuat kondisi jurnalis dan jurnalisme berubah-ubah. Salah satu yang menandai berubahnya kondisi jurnalisme adalah datangnya berita-berita viral yang memberi isyarat bahwa saat ini Jurnalis tak lagi menjadi satu-satunya pemeran dalam penulisan dan penyebaran berita.

Maraknya beredar berita viral ini disebabkan oleh jurnalisme kontemporer, yakni citizen journalism, yang menjadikan masyarakat tak hanya berposisi sebagai konsumen yang pasif saja dalam menerima berita, akan tetapi  juga bisa menciptakan media mereka sendiri.

Citizen journalism dianggap lebih dekat dengan masyarakat sebab menyajikan berita yang sedang hangat di masyarakat atau memuat suatu isu yang sedang viral. Yang jelas, kemasannya sangat ringan dan mudah diterima di telinga masyarakat. Inilah faktor utama yang membuat kondisi jurnalisme kontemporer berubah.

Media dan Jurnalis seakan dilema, harus mengikuti arus berita viral dan membahas isu yang sedang viral tersebut atau mempertahankan idealismenya dengan membuat struktur dan isi berita yang tetap seperti idealisme media tersebut. Tak ayal apabila pergeseran konsumsi masyarakat akan berita viral ini menyebabkan media semakin berebut mendapatkan hati konsumen karena kebutuhan mereka untuk berusaha menciptakan konsumen yang loyal.

Ini tak bisa disalahkan, sebab, jika mereka tidak mengikuti permintaan pasar, kemungkinan untuk terdisrupsi akan semakin besar. Bagi jurnalis sendiri, sebenarnya bukan masalah untuk menyoroti berita viral yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat. 

Namun yang perlu digaris bawahi, jurnalis tidak boleh sekedar membuat konten bersifat hoax atau mengada - ada dengan maksud untuk menjadi viral dan mendapat panggung di masyarakat. Tentu saja itu adalah sebuah pelanggaran terhadap Kode Etik seorang Jurnalis. 

Berdasarkan data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2014 saja sebesar 87,4% masyarakat pengguna internet yang mengakses internet untuk mengakses konten jejaring sosial, disusul dengan penggunaan untuk searching sebesar 68,7%, dan untuk instant messaging sebesar 59,9%.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat di Indonesia lebih menyukai mengakses media sosial ketika sedang berselancar di internet. Ini juga yang akhirnya menyebabkan media menggadaikan idealismenya, menyajikan berita viral  untuk mencari "panggung" dan menjual lebih banyak konten viral sehingga nama media akan familiar terdengar di telinga masyarakat.

Cukup "mengenyangkan" juga apabila dilihat dari segi pendapatan media, jika sebelumnya media konvensional mendapat pemasukan hanya dengan mengandalkan iklan, maka media kontemporer justru lebih mengandalkan viral sebagai salah satu sumber pemasukan untuk iklim pers yang baru.

Dengan naiknya traffic akibat searching masyarakat atas berita yang sedang viral, maka nama suatu media akan naik dan berpotensi untuk mendatangkan investor. Namun dalam hal ini, bisakah kita menyebut bahwa media tersebut telah mengesampingkan kepentingan publik dan lebih mementingkan kepentingan media saja? Dan di tengah perkembangan zaman, idealisme pers harus bergeser demi kepentingan "perut" saja?

Hal ini diulas oleh Drs. Mohammad Shoelhi dalam bukunya, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, yang mengemukakan bahwa memang benar bahwa idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Namun, jika media atau pers hanya mengutamakan segi komersial saja, pers hanya akan melayani kepentingan pembayarnya.

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, apakah UU Pers masih relevan dengan perkembangan media yang bergeser dari konvensional menuju kontemporer? Sebagai penyedia warta, seharusnya prinsip berimbang dalam UU Pers harus tetap ditegakkan oleh media.

Untuk mempertahankan urusan ekonomi media tanpa harus menggadaikan idealismenya, media harus mengikuti perkembangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalisme. Media harus memiliki segmentasi yang jelas dari awal berdiri untuk siapa pasar yang akan dituju. Dengan segmentasi itu, media akan terjaga idealismenya karena memiliki basis pelanggan yang jelas.

Mayoritas konsumen yang sesuai segmentasi tersebut nantinya akan setia untuk selalu mengikuti update pers tersebut, sebab konsumen mengikuti media tersebut karena memang berawal dari ketertarikan, entah melalui cara penyampaian berita maupun kualitas isi dari pemberitaan media itu.

Dengan ini Pers, di tengah viralisme yang semakin menjadi-jadi, tetap melaksanakan kewajibannya dalam UU pers yaitu memberi edukasi kepada masyarakat. Pers, juga harus berpedoman pada Kode Etik dan UU Pers untuk melindungi profesi wartawan di era teknologi informasi saat ini. Pers, ditengah perkembangannya harus tetap vokal bersuara, menyuarakan suara-suara benar yang tak kunjung didengar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun