Namun, ketika Choky Sitohang dengan sungguh-sungguh menatap mata saya, lalu bertanya tentang apa yang paling disesali dan membuat marah, saya tak mampu bertahan. Muncul perasaan meluap-luap.
Saya kesulitan menahan gelombang sedih yang datang bergulung-gulung menghantam dada. Ia datang cepat dan tiba-tiba, hampir meruntuhkan bendungan di mata.
Untungnya, retak-retak rasa tidak menumpahkan air mata. Dengan menekan pedih, saya menjawab pertanyaan host. Terbata-bata.
Ingatan yang membuat saya menyesal sehingga stroke menyerang adalah ketidakteraturan hidup dan pola makan, pengabaian terhadap kesehatan diri, kurang olahraga, dan ketidaktahuan tentang gejala stroke.
Setelah itu hanya ada kemarahan kepada apa saja di luar diri saya, termasuk kepada Tuhan.
Beberapa waktu kemudian baru bangkit kesadaran sederhana. Tuhan telah menurunkan hukum-hukum. Di antaranya, makan berlebihan garam dan lemak serta kurang istirahat mengkibatkan serangan stroke.
Siapa yang melakukan perbuatan makan berlebihan dan kurang istirahat? Ya saya!
Artinya, stroke merupakan penyakit yang saya buat sendiri. Hasil perbuatan buruk kepada diri di masa lalu.Â
Maka, untuk pemulihan saya harus mengusahakannya dengan tekad sendiri untuk berobat, melakukan latihan-latihan, bersosialisasi, hingga berpikir positif. Bagi saya, takada lagi ruang untuk menyalahkan faktor-faktor eksternal.
Dalam satu acara pengambilan gambar di sebuah studio televisi swasta itu, Choky Sitohang telah membuka sisi terdalam dari saya.Â
Diskusi hangat di antara host, narasumber ahli, dan saya yang semula berlangsung seru sejenak menjadi hening, ketika saya menekan perasaan, terbata-bata ketika menyampaikan kenyataan buruk yang pernah dialami.Â