BAGAI pertunjukan sang maestro, pria berpakaian serba hitam dan mengenakan iket/totopong (penutup kepala) menuang kuah ke mangkuk, lalu menumpahkannya kembali sambil menarik cawan perlahan ke atas.
Tujuh kali ia melakukan proses itu. Sinar keemasan matahari pagi menyorot melalui dedaunan menambah syahdu ritual tersebut.
Dukun?
Bukan. Pemandangan menakjubkan terjadi di pinggir jalan. Saya duduk di bangku trotoar dekatnya. Menonton dan menunggu pesanan dibuat.
Trotoar tersebut merupakan salah satu rute olahraga jalan kaki dan terletak tidak jauh dari rumah.
Beberapa kali melaluinya pada pagi hari, saya seringkali melihat pikulan tersebut. Satu bagian berisi bahan-bahan, pada kotak lainnya terletak dandang dengan kayu bakar di bawahnya.
Laksa. Pikulan penjual laksa Bogor di jalur hijau tepi jalan Tentara Pelajar, Kota Bogor. Ke arah dalamnya terdapat jalur pejalan kaki dengan bangku taman di beberapa titik.
Laksa Bogor termasuk jenis makanan khas yang sekarang jarang saya jumpai. Dulu, tahun 1980an, penjaja laksa berkeliling di permukiman. Bila keinginan meronta, saya cukup memanggil mamang penjual.
Meskipun sebagai pendatang baru pada saat itu, saya menyukai cita rasa laksa. Suatu rasa yang tidak mudah saya temukan di Malang, Jawa Timur. Porsinya pun tidak terlalu besar, cukup nendang tapi tidak menyesaki perut. Cocok untuk kudapan pagi atau sore.
Terakhir menyantapnya, laksa terasa terlalu manis. Sejak saat itu laksa Bogor tidak lagi menjadi menu yang saya inginkan.
Pernah sekali mencobanya di Gang Aut, Suryakancana, Kota Bogor. Daerah tersebut dikenal sebagai salah tujuan kulineran. Di sana, laksa tercecap seperti kolak gurih. Saya kurang menyukainya.
Jadi, sekalipun ada penjual laksa di daerah dekat rumah, saya tidak tertarik menjajalnya.
Namun, Sabtu pagi yang iseng mendorong saya menghampiri penjual laksa. Ia berjualan dekat trotoar di luar pagar "Bogor Agro Science Technopark" milik Kementerian Pertanian. Sebutan yang keren dan kesains-sainsan. Kenyataannya, tiada hal yang mencerminkan makna nama tersebut.
Tadinya, penjual laksa pernah mengisi food court di dalamnya. Berhubung selama 8 bulan minim pengunjung, ia bersama pedagang kuliner lainnya hengkang dari tempat sepi itu.
Penjual laksa menempati jalur hijau milik pemda tepat di depan pagar tempat sebelumnya. Sekarang ia tidak perlu membayar. Tidak ada gangguan. kendati sesekali diusir aparat lantaran ada pejabat hendak lewat.
Ternyata, enam bulan berjualan di lokasi tersebut penjual laksa itu mendapatkan jauh lebih banyak pembeli. Setengah jam lebih nongkrong, saya menghitung ada sembilan pembeli. Orang yang olahraga jalan pagi hingga yang bermobil.
Satu hal yang unik dari penjualan laksa adalah cara memanaskan isian di dalam mangkuk. Umumnya, isian laksa Bogor terdiri dari:
- Bahan matang (ketupat, bihun, telur rebus).
- Bahan belum dimasak (tauge, oncom merah, tahu kuning, kemangi, dan sepertinya kelapa agak muda diparut).
Bahan-bahan tersebut disiram kuah dari dandang yang dipanaskan dengan bara kayu bakar. Kuah kekuningan merupakan hasil olahan kaldu, aneka rempah dan bumbu, serta santan.
Kemudian mangkuk diangkat sambil memiringkannya untuk mengembalikan kuah ke dandang. Agar tidak berjatuhan, isian ditahan dengan sendok sayur.
Proses ini dilakukan tujuh kali. Saya menduga, itu untuk mematangkan dan memanaskan isian tadi. Atraktif!
Tanya punya tanya, penjual laksa tinggal tak jauh dari lokasi berjualan. Abah Untung, ia menyebut dirinya demikian, berdagang laksa Bogor sejak tahun 1989. Tidak diperoleh keterangan tentang tempat ia berjualan sebelumnya, selain di sekitar wilayah ini.
Rupanya, Abah mewarisi resep laksa dari kakeknya. Sebuah pertanyaan membersit di benak, akankah rasa disajikan setara dengan laksa tempo dulu?
Semangkuk laksa terhidang di kursi plastik yang menjadi meja. Sementara saya duduk di tembok penahan tanah tinggi 40an sentimeter.
Kuah kuning bersantan membanjiri potongan ketupat, bihun, tauge (kecambah), suwiran oncom. Telur rebus terbelah dua dan tahu kuning muncul di permukaan. Kemangi layu.
Sebelum menambahkan sambal, saya memasukkan sesendok kuah ke rongga tempat gigi dan lidah. Ah, ingatan tentang rasa laksa seperti di masa lalu muncul kembali.
Tercecap manisnya santan. Menurut keterangan Abah, kuah juga ditambah gula. Namun, penambahannya tidak berlebihan.
Dominasi rasa gurih diimbangi manis samar diharmonisasi oleh bumbu-bumbu. Kombinasi rasa yang membuat saya tidak sedang menyantap kolak berempah.
Sebuah paduan rasa yang bersepadan. Sesuai dengan harapan atas rasa otentik laksa Bogor. Lidah saya terbang ke masa 45 tahun lampau sampai dasar mangkuk kering.
Saya menikmati setiap kunyahan. Lidah menari-nari, tidak semacam joget anggota DPR di atas penderitaan rakyat. Rasa khas yang enak membuat pembeli berganti-ganti, ada yang pergi dan ada yang datang.
Saya tidak perlu menceritakan bagaimana rasa telur rebus, tauge, bihun, atau tahu kuning yang lembut, tetapi saya memastikan bahwa laksa Abah Untung sangat cocok di lidah. Kurang lebih seperti rasa laksa di tahun 1980an.
Tak rugi menyerahkan uang Rp18.000 untuk semangkuk laksa komplit. Tanpa telur rebus, cukup membayar Rp13.000 saja.
Kelak saya datang kembali ke lapak Abah Untung, demi laksa Bogor bercita rasa otentik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI