Tanya punya tanya, penjual laksa tinggal tak jauh dari lokasi berjualan. Abah Untung, ia menyebut dirinya demikian, berdagang laksa Bogor sejak tahun 1989. Tidak diperoleh keterangan tentang tempat ia berjualan sebelumnya, selain di sekitar wilayah ini.
Rupanya, Abah mewarisi resep laksa dari kakeknya. Sebuah pertanyaan membersit di benak, akankah rasa disajikan setara dengan laksa tempo dulu?
Semangkuk laksa terhidang di kursi plastik yang menjadi meja. Sementara saya duduk di tembok penahan tanah tinggi 40an sentimeter.
Kuah kuning bersantan membanjiri potongan ketupat, bihun, tauge (kecambah), suwiran oncom. Telur rebus terbelah dua dan tahu kuning muncul di permukaan. Kemangi layu.
Sebelum menambahkan sambal, saya memasukkan sesendok kuah ke rongga tempat gigi dan lidah. Ah, ingatan tentang rasa laksa seperti di masa lalu muncul kembali.
Tercecap manisnya santan. Menurut keterangan Abah, kuah juga ditambah gula. Namun, penambahannya tidak berlebihan.
Dominasi rasa gurih diimbangi manis samar diharmonisasi oleh bumbu-bumbu. Kombinasi rasa yang membuat saya tidak sedang menyantap kolak berempah.
Sebuah paduan rasa yang bersepadan. Sesuai dengan harapan atas rasa otentik laksa Bogor. Lidah saya terbang ke masa 45 tahun lampau sampai dasar mangkuk kering.
Saya menikmati setiap kunyahan. Lidah menari-nari, tidak semacam joget anggota DPR di atas penderitaan rakyat. Rasa khas yang enak membuat pembeli berganti-ganti, ada yang pergi dan ada yang datang.