Sebetulnya saya tidak menyetujui, berhubung bisnis lebih pas sebagai restoran penyedia hidangan bagi orang kantor. Namun, saya kalah suara. Dua puluh persen dibanding 80 persen.
Bisnis dengan konsep baru tidak bertahan lama. Dengan berbagai faktor yang sudah saya duga, penjualan cenderung turun sementara pengeluaran bertambah. Tak perlu lama, usaha kuliner hampir bangkrut.
Karyawan terpaksa dirumahkan dengan pesangon yang sepadan. Utang-utang terlebih dahulu diselesaikan. Langkah terakhir adalah menjual bisnis.Â
Meski di bawah ekspektasi, seluruh aset diambil alih oleh seorang musisi. Setelah dipotong biaya-biaya dan pajak, seluruh hasil penjualan dibagi sesuai komposisi saham.
Hasil penjualan di bawah modal. Secara teknis rugi, tetapi hubungan pertemanan tidak rusak. Masih terjaga. Bahkan, beberapa masih berkomunikasi hingga kini.
Kerja Bareng Teman dalam Proyek
Seorang teman mengajak kerja sama, setelah mengetahui bahwa perizinan usaha kecil saya cukup komplit. Sementara punyanya tidak lengkap, sehingga terbatas dalam perolehan proyek pemerintahan.
Sebetulnya ia bukan pemilik perusahaan rekanan pemda itu. Istri dan anaknya yang tercatat dalam akta pendirian. Perlu diketahui, dalam perolehan proyek pemerintah disyaratkan pengurus perusahaan bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, atau Polri.
Profesi teman saya adalah guru SMA Negeri. Namanya tidak bisa dicantumkan dalam akta perusahaan, tapi pada kenyataannya ia mengendalikan penuh usaha tersebut. Entah bagaimana ia bisa mencuri waktu kerja sebagai guru.
Kesepakatan kerja bareng adalah, perusahaan saya maju sebagai pemenang tender (zaman itu masih bisa diatur). Ia bisa memperoleh proyek-proyek karena memiliki koneksi ordal (orang dalam) di satu dinas Pemerintah Kabupaten Anu.
Rencananya, modal kerja proyek ditanggung bersama. Berhubung kondisi keuangan saya terbatas jika mengongkosi proyek lebih dari satu, ia sanggup menanggung kekurangannya.
"Tenaaangg ...! Ada Tabungan. Kalau kurang, bisa gadai mobil atau rumah."