Udara pulau Untung Jawa sejuk, berkat semilir angin dari pepohonan. Sambil menikmati keindahan dan kesegaran pulau, kami menuju Musala terdekat diantar Pak Mamat, untuk menunaikan salat Zuhur yang sangat terlambat.
Setelahnya, menuju rumah makan yang tampak bonafid. Sepertinya, kerap menjadi venue acara kumpul-kumpul.
Di dalamnya terlihat meja-meja panjang. Di satu meja terdapat sejumlah chafing dish (wadah stainless steel dengan pemanas makanan). Di luar, satu motor gerobak sedang diisi aneka olahan hasil laut yang ditutup dengan plastik tipis (cling film).
Saya duduk di restoran, seraya menunggu pesanan matang: ikan kue lilin bakar, ikan kue dimasak kuah pindang, cumi goreng tepung, udang masak asem manis. Sementara dua kerabat saya pergi demi mengumpulkan sampel tanah.
Makan siang yang kesorean usai bakda Asar. Hidangan yang disantap adalah sebagian ikan kue pindang. Enak, karena memang menggoda selera. Ditambah perut masih kosong. Cumi, udang, ikan bakar, sisa ikan kuah pindang dibungkus untuk dibawa pulang.
Kira-kira pukul empat Pak Mamat mengantar kami ke dermaga dan membisikkan sesuatu ke nakhoda satu perahu. Tak lama, Lurah setempat berserta rombongan tamunya datang dan naik ke sebuah perahu.
Nakhoda meminta saya dan kerabat naik juga. Tanpa menunggu penumpang lainnya, perahu kayu mulai bergerak. Terlihat antrean penumpang di dekat perahu lain.
Isi perahu tidak sepenuh perahu yang pertama saya naiki. Rupanya, angkutan air ini diperuntukkan bagi Lurah dan rombongan. Kami tetap membayar ongkos seperti warga lokal.