Sore hari ombak lebih terasa mengguncang perahu. Saya berdoa tanpa bisa menikmati pantulan merah matahari yang hendak memeluk cakrawala barat.
Saya adalah penumpang terakhir yang menuruni perahu. Meniti balok kayu merupakan tantangan tersendiri bagi saya yang sudah rusak peralatan keseimbangannya. Bagus ada pria kekar memegang tangan saya dan memandu hingga tiba di pantai. Alhamdulillah.
Perjalanan Pulang yang Serba Kebetulan
Pukul 5 sore lebih keluar dari area penyeberangan. Tidak ada angkutan umum. Ternyata angkot putih beroperasi hanya sampai 17.00 WIB. Penjaga kolam pemancingan air tawar menawarkan carteran, lalu menelepon temannya. Zonk! Mobilnya sedang di luar kota..
Ojek pangkalan menawarkan tumpangan. Namun, cara itu belum terpikirkan. Pilihannya, menggunakan jasa transportasi daring. Tadi sempat melihat beberapa pemotor berjaket hijau di Kabupaten Tangerang.
Pesan mobil online tujuan stasiun Tangerang. Setelah sekian lama baru ada yang merespons. Ia akan sampai dalam 17 menit. Meski bakal menunggu lama, saya tidak hendak membatalkan pesanan.
Dipantau melalui peta, mobil tidak bergerak. Azan Maghrib berkumandang. Tambah tegang, berhubung malam mulai menghadang. Kelamaan menunggu, pihak penyedia layanan transportasi daring memberikan voucer potongan ongkos.
Tumbuh kesangsian, akankah pengemudi mobil online itu menjemput? Jangan-jangan ia membatalkan orderan?
Tidak lama, pengemudi mengirim pesan bahwa ia akan menunaikan salat. Saya jawab, kami juga akan ke Musala. Akhirnya, mobil silver metalik tiba. Lega menjalari dada.
Pengemudi yang berdomisili di Gaplek, Pamulang, Tangerang Selatan itu meminta maaf. Setelah mengantar penumpang di lokasi sejarak 13 kilometer dari titik jemput, ia lebih dulu menunaikan salat Magrib.
Tidak ada peristiwa luar biasa dalm perjalanan pulang naik Commuter Line yang waktu tempuhnya dapat diprediksi, kecuali menikmati gerbong berpendingin udara.