BANK DUNIA menilai, kemiskinan melanda 60,3% warga Indonesia. Seketika laporan tersebut menyengat pihak Badan Pusat Statistik (BPS).
Amalia Adiningrat Widyasanti, Pelaksana Tugas (Plt) BPS mengatakan, laporan Bank Dunia bukan keharusan untuk diterapkan di Indonesia. Hanya sebagai rujukan. Indonesia punya garis kemiskinan berlainan dengan di laporan tersebut (kompas.com).
Ada basis perhitungan yang berbeda. Kata Bu Amalia, tiap-tiap negara memiliki poverty line masing-masing. Bahkan, garis kemiskinan itu bisa tidak sama di tiap provinsi di Indonesia.
Garis Kemiskinan (GK) di September 2024 adalah Rp595.242 per kapita per bulan (GK Makanan Rp443.433 dan GK Bukan Makanan Rp151.809). Maka, pada bulan bersangkutan jumlah penduduk miskin 24,06 juta orang atau 8,57% (siaran pers BPS 15 Januari 2025).
Persentase itu berbeda jauh dibanding laporan Bank Dunia. Berbeda dasar perhitungan, berselisih pula angka-angka kemiskinan yang disajikan.
Baiklah. Biarkan para pejabat berargumen hingga berbusa-busa. Memperdebatkan angka kemiskinan tanpa solusi di ruang perjamuan berpendingin udara.
Kemiskinan ada di depan mata saya. Apakah memakai ukuran Bank Dunia atau BPS, saya tidak terlalu menghiraukannya. Bagi saya, keadaan serba kekurangan ada di sekitar. Nyata.Â
Mereka cari uang dengan segala cara untuk makan. Misalnya, pedagang di ujung jalan. Sementara belum mendapatkan pekerjaan, ia menjual gorengan setelah 3 Â bulan lalu di-PHK dari sebuah pabrik di Bekasi.Â
"Kalau gak jualan, gak punya duit."
Atau, penjual bensin di pinggir jalan; pengatur lalu-lintas di pertigaan jalan (bukan polisi, ya); penjual kopi seduh di tepi jalan; penjaja masakan matang.
***
Seorang wanita dengan lantang menyeru hampir setiap pagi, menawarkan masakan matang.
Di dalam keranjang yang dijinjingnya terdapat aneka lauk dan sayur terbungkus plastik, di antaranya: tongkol balado, usus ayam masak kuning, perkedel, oseng kulit sapi, tumis pare, gulai daun singkong, sayur sup, sayur asem.
Sambil menggendong bayi dan ditemani anak laki-laki usia 4 tahunan, wanita itu menjajakan barang dagangan titipan tetangganya yang pemilik warung nasi.
Ia terpaksa berjualan lantaran suaminya menghilang tanpa tanggung jawab. Bagusnya, wanita tersebut mendiami rumah peninggalan orangtuanya sendiri. Sebuah hunian di bantaran kali.Â
Untuk memperoleh penghasilan, ia berdagang. "Gak jualan, gak makan."
Ini pengertian literal. Pemahaman menurut apa yang dimaksud dalam teks. Tidak berjualan, maka ia kesulitan memenuhi kebutuhan dasar: makan.
Berjualan masakan matang demi mendapatkan komisi. Harga jual kepada konsumen adalah Rp5.000 per bungkus. Ia mendapatkan bagian sebesar Rp1.000 dari setiap yang terjual.
Jika tidak semuanya laku, masakan tersisa dikembalikan ke pemilik warung.
Wanita itu, saya lupa menanyakan namanya, dalam sehari biasa membawa 18-23 bungkus masakan matang. Artinya, bila barang dagangan habis terjual, ia mendapatkan Rp18.000 hingga Rp23.000 setiap hari.
Sebagai manusia biasa, tak setiap hari berjualan. Ada saat-saat tidak terdengar suara lantangnya menjajakan masakan. Mungkin 2 atau 3 hari dalam seminggu ia tidak berjualan.
Anggaplah ia berjualan 20 hari dalam sebulan. Perkiraan penghasilannya adalah: 18-23 bungkus X Rp1.000 X 20 hari = Rp360.000 hingga Rp460.000 per bulan.
Keadaannya makin tenggelam di bawah permukaan, bila tidak semua barang dagangannya laku.
Pendapatan di atas amatlah kritis. Tak perlulah mengambil rujukan Garis Kemiskinan BPS sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau menyejajarkannya dengan Garis Kemiskinan Makanan Rp443.433,
Diantara 8,57 persen kemiskinan pada September 2024, keadaan yang dialami penjaja masakan matang itu hanya satu noktah. Ada di depan mata saya. Nyata.
Apakah wanita itu tidak mendapat bantuan, misalnya bansos?
Ya itu! Berhubung ditinggal begitu saja oleh sang suami kurang ajar, legalitas status kependudukannya bermasalah. Kartu Keluarga belum diubah sesuai keadaan terakhir, sementara dokumen sahih menjadi syarat mengurus bansos dan semacamnya.
Saya tidak mendalami, sejauh mana elemen terkecil dari struktur pemerintah di lingkungannya --seperti RT/RW-- membantu dalam penyelesaian perkara tersebut.
Syukurlah, alam semesta bekerja dengan cara bijaknya. Saya mengetahui, sedikit orang membelikan popok atau susu bayi. Kebaikan yang meringankan beban penjaja masakan matang itu.
Semoga akan bertambah insan bernurani. Mudah-mudahan angka kemiskinan makin turun. Moga-moga program pengentasan kemiskinan yang digulirkan pemerintah sejalan dengan rencana. Tiada kebocoran-kebocoran.
Saya, yang sempat tersihir iming-iming di dalam kampanye pejabat, bermimpi:
Tanpa gembar-gembor, tanpa arogansi sirene pengawal, dan tanpa pemolesan keadaan, pada suatu hari nanti para petinggi di atas sana turun ke lapangan. Kemudian mereka merasakan, memahami, menangis, lalu memikirkan sungguh-sungguh pengentasan kemiskinan menurut realitas objektif.
Tidak hanya membaca kemiskinan dari angka-angka; tidak berdebat tentang dasar penentuannya; dan tidak membahasnya dalam ruangan perjamuan berpendingin udara dengan hati beku.
Kemiskinan tidak hanya angka-angka dalam laporan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI