ZAMAN internet. Informasi bergerak cepat. Belakangan ramai diperbincangkan di internet, perihal aksi premanisme minta jatah THR ke perusahaan-perusahaaan jelang lebaran.
Mereka menekan pengusaha melalui surat sumbangan, proposal kerjasama, pemintaan audiensi, hingga menggelar demonstrasi mengepung pabrik. Mereka adalah Organisasi Masyarakat (ormas), termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (Kompas.id).
Tentu saja tidak semuanya. Tidak bisa dipukul rata. Ormas tertentu datang sebagai tamu tak diundang, melakukan aksi premanisme yang meresahkan kalangan pengusaha.
Dituruti, jadi preseden untuk permintaan dana terus menerus dan dari yang lainnya. Tidak dipenuhi, muncul intimidasi hingga ancaman dari pihak ormas, bahkan menimbulkan keributan.
Aparat penegak hukum? Mereka datang setelah "perang usai". Aksi premanisme selesai, karena pelaku usaha terpaksa memenuhi permintaan.
Saya menghadapi aksi premanisme ormas dalam dua masa. Pertama, saat mengelola usaha kuliner (kafe/club) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, seperempat abad lalu. Kedua, ketika terjun sebagai pengusaha kecil yang menangani proyek-proyek pemerintah sampai dengan enam tahun lampau.
Sebagai Pengelola Kafe
Pada setiap tahun menjelang lebaran, di meja kerja saya bertumpuk proposal dan surat permintaan THR.
Saya ingat, waktu tahun 2000an ormas belum sebanyak sekarang. Tumpukan proposal berasal dari ormas dan aparat. Belum ada permintaan dengan nada menekan. Namun, tetap saja ada rasa sungkan apabila tidak memenuhi permintaan dana.
Mau tidak mau, manajemen menganggarkan biaya THR untuk tamu tak diundang itu. Realisasi menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Kendati jumlah diberikan di bawah ekspektasi para peminta, mereka tidak menyoalkan. Tidak timbul pertengkaran.
Mereka tenang dapat duit, pengusaha puyeng memikirkan penggantinya.