Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Daripada Ngemplang, Lebih Baik Minta

8 Desember 2022   05:54 Diperbarui: 8 Desember 2022   06:24 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umi sedang menghaluskan bumbu pecel (dokumen pribadi)

Harga pecel warung Umi sepuluh ribu. Relatif terjangkau, tetapi ada saja yang ngutang. Tidak membayar dengan dalih, ntar ya!

Ntar sok, ntar sok yang tidak jelas kapan tanggal jatuh temponya. Atau kapan akan dilunasi.

Ngemplang! Sepintas mirip pengemplang pajak atau pengemplang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Satu adalah wajib pajak yang menghindari kewajiban pembayaran pajak. Kelompok lain adalah mereka yang tidak tertib menyelesaikan kewajiban utang kepada negara.

Kalau perlu, para pengemplang itu menghilang dari pangkuan Ibu Pertiwi. Namun tidak demikian di warung Umi. Pengemplang tidak menghilang.

Keberadaan mereka diketahui. Tempat tinggal mereka bisa diidentifikasi. Namun mereka tidak muncul dalam jangka waktu yang entah untuk melakukan pelunasan 

Ya, mereka tidak satu, tapi beberapa orang yang menghindar dari keharusan membayar pecel atau nasi uduk. Umumnya tetangga beda RT atau RW.

Lupa bayar? Lupa kok berulang.

Dulu sekali mereka memesan nasi uduk. Membungkusnya dengan janji akan dibayar nanti yang tidak pernah terealisasi.

Sekarang Umi berjualan pecel, karedok, dan rujak ulek. Katanya, bikin nasi uduk berikut lauk pauknya dan gorengan terlalu menyita waktu.

Lama sekali pengemplang tidak muncul, belakangan datang menghampiri warung Umi. Bukan membayar utang, tapi memesan pecel untuk dibawa pulang seraya mengucap, "ntar ya, belum pegang uang."

Seperti biasa, Umi menjawab dengan senyum tanpa sekalipun protes apalagi menuntut. Berkehendak datang ke rumah pengemplang untuk menagih pun tidak.

Mereka bukan musafir. Mereka punya rumah, punya keluarga, punya penghasilan, tapi mengaku belum punya dana pembayaran.

Sedangkan kapital yang ditanam Umi untuk jualan pecel, sebesar Rp 100 hingga 150 ribu, belum tentu balik. Ditambah dengan piutang tak tertagih di tangan orang, maka jadilah modal kerja terkikis. Secara teoretis, rugi.

Umi berada di keluarga tidak kekurangan. Di usia 74 tahun, wanita yang ditinggal mati suaminya berjualan demi mengisi waktu. Mungkin anak mantu mendukung kegiatannya.

Berita baiknya, meskipun tidak sering, Umi mendapatkan uang dari pesanan makanan jadi untuk acara yang bersifat insidental. Sedikit mengurangi kerugian akibat piutang tak tertagih.

"Gak ditagih?"

"Enggak. Biarin aja, palingan gerah sendiri. Malu ke sini. Kalau nongol, bakal nganjuk lagi berarti tebel muka." (nganjuk, bs. Sunda = berutang).

Umi melanjutkan, bila seseorang memang tidak ada uang, tapi kepingin, lebih baik berterus terang. Pecel atau karedok atau rujak ulek akan dibuatkan.

"Rezeki mah tidak ke mana. Kalau minta, pasti dikasih ..."

Sepiring pecel (dokumen pribadi)
Sepiring pecel (dokumen pribadi)

Bersamaan dengan itu saya mengembalikan piring bekas pecel dengan rasa pedas sedang. Mengosongkan gelas, menyerahkan selembar uang, dan segera beranjak.

"Tidak ada kembalian. Tadi belum ada penglaris."

"Ambil aja," saya pun buru-buru melanjutkan perjalanan.

Daripada ngemplang dengan janji kosong, mending minta saja makanan barang sebungkus. Siapa tahu pengusaha mikro seperti Umi akan berbaik hati. Kalau tega.

Lagi pula utang adalah kewajiban yang mesti dilunasi, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun