Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Durian Jatuh

4 September 2022   20:57 Diperbarui: 4 September 2022   20:59 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto durian bergelantungan oleh Tom Fisk dari Pexels

Pada akhir keramaian itu, aroma ganjil tak terdefinisi menyelundup memasuki lubang hidung. Bau bulatan berduri telah mengundang pembeli berduit.

Hasil panen kebun-kebun berjajar rapi dalam rak kayu bertingkat-tingkat. Berwarna-warni hijau, kuning, merah yang nyaris membentuk pelangi bersiap ditukar dengan sejumlah rupiah.

Di antaranya, pada bagian terpisah dari hasil tumbuhan yang terasa manis maupun kecut menyegarkan, terletak rak berisi bola-bola berwarna hijau kecokelatan. Permukaannya ditutupi duri-duri. Cukup tajam untuk membuat kulit berdarah, bila tidak hati-hati memegangnya.

Baca juga: Pemandu Putih

Sebagian besar terhampar di atas rak kayu. Dalam jumlah lebih sedikit bergelantungan terikat tali plastik putih. Mereka menyombongkan diri sebagai komoditas termahal di antara buah-buah mahal.

Di depan lapak berderet ibu-ibu berkulit mulus bagai baru dari salon. Bapak-bapak tambun seumpama peragawan keluar dari butik. Bersih. Wangi.

Dari saku atau dari dompet kulit asli atau dari tas kulit buaya, mereka menarik lembaran-lembaran merah, ditukar dengan beberapa buah eksotik diikat tali berwarna putih.

Manusia-manusia kaya yang berbeda dengan seisi pasar. Pengunjung lusuh yang sebagian besar bahkan berangkat tanpa membilas tubuh. Berpakaian seadanya. Bersolek sesempatnya.

Sebagaimana seorang pria yang pada saat matahari baru bangun berangkat terbirit-birit. Mandi terburu-buru sampai-sampai tidak luang menurunkan berat badan. Lantaran tidak ingin sedikit pun kehilangan kesempatan pertama tiba di tempat mencari nafkah.

Terngiang bab makan malam. Dua anaknya menyantap habis nasi kuah gulai nangka dan sejumput daun singkong rebus, setelah seharian menelan angin. Ia dan istrinya mengisi lambung dengan teh tawar.

Ia bercita-cita menghadirkan menu sehat bagi keluarga. Membeli beras, ikan paling murah, dan sayuran segar. Agar anak-anaknya tumbuh sehat, cerdas, lebih baik dari orang tuanya.

Lamunan sang pria ambrol ketika suara riuh hilir-mudik menembus langit yang mulai membakar. Atap seng dan bentangan plastik biru oranye menahan cahaya menusuk-nusuk. Memerangkap udara pencetus peluh bercucuran bersama pengap.

Ia duduk di satu sudut. Menunggu kasih dari bermacam-macam muka. Ada yang menolak halus, ada pula jawab berupa kepala menggeleng dengan bibir datar. Paling banyak, mereka yang mematung pelit kata-kata.

Namun di antara itu semua, ada juga pembeli baik. Membuka dompet kain, menyerahkan keping koin. Pemberi berbeda boleh jadi melempar lembaran senilai ongkos parkir liar.

Di bawah teduhnya tenda, dengan mengabaikan lalu lalang, ia menghitung penghasilan hari ini. Masih terlalu lemah untuk menawar beras dan kawan-kawannya.

Nukilan wajah tak berdosa anak-anak dan istrinya berputar di dalam benaknya. Berpendar pada atap terpal dan penutup seng. Keluh beredar memenuhi udara pengap nan lembap.

Matahari mulai condong ke barat. Ia menunggu kebaikan hati dalam kesia-siaan. Pengunjung berangsur-angsur surut. Sebagian penjual berkemas-kemas. Sisanya bertahan menunggu pembeli.

Waktunya pulang. Ia bangkit. Lunglai mengangkat karung bekas tepung. Kusut masai menyadari perolehan hari ini tidak sesuai harapan. Hasil-hasil kian menciut bersamaan dengan gugurnya angka-angka pada almanak.

Setitik cahaya redup menyala di dalam kepala. Tidak jauh dari pasar, di belakang sebuah rumah makan Padang, besar harapannya makanan tersisa belum diaduk-aduk oleh kucing maupun tikus-tikus berkeliaran.

Sejenak langkahnya terhenti. Pada akhir keramaian itu, aroma ganjil tak terdefinisi menyelundup memasuki lubang hidung. Bau bulatan berduri telah mengundang pembeli berduit.

Mengabaikan buah-buah lainnya, orang-orang dari golongan atas mengerumuni hamparan di rak kayu. Menciumi durian bergelantungan diikat tali plastik putih.

Ibu-ibu memonyongkan bibir menawar hingga harga terendah. Bapak-bapak memilih tanpa banyak omong, membuka dompet demi memperoleh buah kesukaan.

Harapan sang pria bangkit. Tampak pertukaran uang yang demikian besar. Benaknya menggambar beras berikut lauk bagi keluarga. Tak lama lagi.

Ia menghampiri. Membunyikan suara rendah sedikit serak membangkitkan iba. Jari-jari tangan dekil menjepit bibir kaleng sarden, mendekati tubuh-tubuh subur nan wangi.

Sebagian memandang selayaknya barang menjijikkan. Lebih dari separo memusatkan perhatian kepada durian terhampar.

Tak putus asa, sang pria terus menerus mengiba hingga intonasi kian mengambang kian sumbang. Ibu-ibu dan bapak-bapak tetap tak hirau. Terpukau dengan durian melimpah.

Pada suatu saat yang sangat singkat sang pria menghitung peluang menggoda. Nalar menyodorkan gagasan agar mengambil kesempatan yang tidak akan pernah datang lagi. Naluri menasihati supaya perbuatan terlarang itu tidak dilakukan.

Perbalahan demi perbalahan membuatnya bimbang. Terombang-ambing di antara dua kutub berlawanan. Dalam kegamangan tanpa pertimbangan, sang pria bergerak cepat. Charles and Keith warna mint green berpindah dari tas bahu menganga ke dalam karung.

Sang pria segera menyingkir. Dua tiga langkah menjauh. Satu teriakan histeris menggema sontak mendorongnya mengambil langkah seribu.

Pergi secepatnya sampai sebuah jurus guntingan menghentikan langkahnya. Terjerembap. Diikuti oleh belasan, atau puluhan, kepalan dan tendangan menghantam tubuh kurus. Suara serak minta ampun tenggelam ditelan pekik garang gelap mata.

Dalam lelah yang sangat, berputar nukilan wajah riang anak istrinya. Menunggu menu sehat: nasi baru, ikan paling murah, dan sayuran segar. Seperti janjinya tadi malam.

Sesaat kemudian tenaga-tenaga beringas melempar. Satu, dua, tiga, durian jatuh menghantam kepala, hidung, muka.

Langit memerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun