Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rindu yang Membiru

23 Juni 2020   07:25 Diperbarui: 23 Juni 2020   07:24 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh S. M. Saifur Rahman pixabay.com

Turun dari taksi, Felicia tergopoh-gopoh memasuki lobi yang dipenuhi orang menanti dan mengantri, lalu bergegas berlari kecil menyusuri bangsal pucat memanjang menuju ruang rawat inap Mawar. Wajahnya pias  melukiskan kecemasan yang beranak-pinak.

Kecemasan yang semakin sempurna ketika melihat seorang  lelaki terbaring lemah di ranjang besi berwarna putih bersprei biru muda.

Felicia merasakan bendungan di matanya akan ambrol. Kesedihan mendesak bersamaan dengan letupan rindu di rongga dada.

Namun ditahannya gelombang kesedihan yang hendak menghempas permukaan wajah. Felicia segera menepis perasaan manakala dilihatnya seorang wanita cantik dengan rambut yang bergelombang di samping ranjang besi.

Wanita muda itu menatap Felicia dengan tajam. Wanita, yang sepertinya telah dengan setia menemani Rudolfo, menyingkir keluar dari ruangan itu.

Terpaksa kecemasan dan kerinduan terpendam dibenamkannya dalam-dalam, berganti dengan senyuman melebar yang menebar terang. Felicia menarik nafas. Mendung di matanya buyar berganti gemintang memancar dari mata yang indah.

Senyum teramat manis dan mata bulat yang teramat indah yang tak pernah bisa dilupakan Rudolfo.

Rudolfo mengenal Felicia sebagai pegawai baru di tempatnya bekerja yang cukup cekatan dan cepat bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja di bidang usaha jasa yang menuntut kegesitan dan keramahtamahan.

Keramahtamahan Felicia dalam melayani tamu patut diacungi jempol. Caranya menghadapi godaan tamu sangat santun, dengan senyuman manis dan tutur bahasa yang tidak akan menyinggung siapapun. Termasuk pegawai pria yang berusaha merayu dan berbuat nakal.

Felicia bukanlah gadis yang tercantik, menurut ukuran keumuman pria penggoda, namun ia memiliki wajah yang sedap dipandang. Tidak membosankan bila semakin lama dipandang, membuat jiwa terasa tersedot untuk mendampinginya.

Rudolfo kerap mencuri pandang  agar bisa menikmati wajah Felicia. Tapi ia kadang berlaku tegas yang dipaksakan kepadanya agar bisa menjaga jarak. Jabatannya sebagai Penyelia menghalanginya untuk melantaskan hubungan terlalu pribadi kepada anak buahnya, apalagi membuat affair.

Sebagai atasan ia harus menghindari hal itu. Hubungan pribadi dengan anak buah akan menghasilkan subyektivitas antara pimpinan dan anak buah, yang dapat menyebabkan terjadinya pilih kasih kemudian menimbulkan rasa iri hati di antara sesama pegawai. Selanjutnya akan berpengaruh terhadap kinerja usaha.

Setelah pindah pekerjaan, barulah Rudolfo berani mendekati dan mendatangi rumah Felicia. Rudolfo merasakan getar-getar asmara kian menggeliat dalam setiap kunjungan.

Pada pertemuan terakhir, Rudolfo menyatakan rasa suka kepada Felicia.

"Sebenarnya aku memendam cinta sejak lama. Setelah berpindah tempat pekerjaan, barulah aku berani menyatakan rasa suka kepadamu. Felicia, maukah engkau menjadi pendamping hidupku?"

Hati Felicia berbunga-bunga. Sebenarnya ia menaruh hati kepada bekas atasannya, tetapi merasa masih terlalu muda untuk berumahtangga.

Sejenak Felicia terdiam kemudian berkata lirih, "engkau adalah lelaki baik, berkarir bagus, dan matang. Sedangkan aku baru lulus SMA dan sedang merintis karir. Aku merasa masih terlalu muda untuk berumahtangga. Perjalananku masih panjang."

Pertemuan itu menjadi yang terakhir. Rudolfo dipindahtugaskan nun jauh ke pelosok.

Lima atau enam tahun mereka tidak saling berkabar, sampai Felicia mendengar kabar keberadaan Rudolfo di kota ini dan kecelakaan yang menimpanya.

Kenangan berdenyut berkeliaran di dalam ingatan. Waktu kunjungan terasa sangat singkat. Felicia harus segera beranjak. Ada rasa berat untuk meninggalkan Rudolfo, namun Felicia cukup tahu diri, iapun segera berpamitan kepada lelaki malang itu.

Banyak hal ingin disampaikannya, tetapi keadaan tidak memungkinkan. Felicia berusaha keras mengubur kenangan dan harapan. Ia akan melupakan Rudolfo selamanya.

Felicia segera meninggalkan ruangan, mendung sudah mulai menggerimis di matanya. Hal pertama yang akan dilakukannya esok pagi adalah menerima tawaran pekerjaan di kota lain yang jauh, menjauhi kota penuh kenangan ini.

Kegembiraan Rudolfo pupus seiiring dengan kepergian satu-satunya wanita yang pernah ia cintai. Ada banyak hal selama ini disimpan yang hendak disampaikan kepada Felicia.

Ia tidak bisa bergerak menahan wanita yang dikasihinya itu, bibirnya tak mampu bergerak bahkan  untuk sekedar menyampaikan rindu. 

Nyaris seluruh tubuhnya dibalut perban dan dibebat gips, hanya menyisakan ruang bagi bibir lebam, lubang hidung, dan kedua matanya yang bengkak membiru.

Rindu yang sangat membiru dan lebam tenggelam di dalam dada.

Wanita cantik yang setia menunggunya kembali masuk ke dalam ruangan sambil mengibaskan rambutnya yang bergelombang indah.

Adik kandung Rudolfo itu sedang menyeruput jus kesukaannya.

~~Selesai~~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun