Suara-suara semakin meninggi memenuhi ruang sempit kamar Sidin. Sidin hapal, teramat hapal dengan keributan yang berujung pada pecahnya barang-barang itu.
Terdengar suara pecahan, bukan pedang, tetapi piring atau gelas dilempar oleh ibunya sebagai pertanda kekesalan yang memuncak kepada bapaknya. Sidin menutup telinga, tetapi suara-suara sedemikian deras menembus dinding kamar.
Sidin segera mengambil sarung dan pedangnya, keluar melalui jendela menghindar dari kekacauan itu. Sarung dililitkan pada bagian hidung lalu kain tersebut disimpangkan ke belakang, hanya matanya yang kelihatan.
Zorro kecil berlari sambil mengacung-acungkan pedang melawan tirani tidak kelihatan. Ia terus berlari melawan hembusan angin barat yang kian kencang menuju dermaga panjang. Pedang menebas bayang-bayang kegeraman sekaligus kepiluan.
Dua, empat atau sepuluh bayangan tergeletak tumpas. Namun masih puluhan bayangan lagi yang harus dituntaskan setuntas-tuntasnya tanpa sisa. Kemarahannya menggelegak. Ditusukkannya pedang seolah Zorro berperang, ke depan, samping kiri, kanan menusuk angin sembari kaki mungilnya menghentak-hentak dermaga kayu usang berderak-derak.
Angin bertiup liar mengiringi semangat menggebu mengorkestrasi derunya simfoni ombak lautan. Bergumpal-gumpal rasa bergelora meronta-ronta dalam dada.
Sidin terus berlari menuju ujung dermaga disambut gegap gempita hempasan ombak mengombak bergelombang-gelombang menggulung-gulung liar tempat bersandar perahu-perahu nelayan sekalian hingga ambruk seambruk-ambruknya.