Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Polemik Lem, Sebuah Fenomena Gunung Es

5 November 2019   10:01 Diperbarui: 5 November 2019   17:38 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by: shutterstock

Politisi muda lulusan Fakultas Hukum salah satu universitas tertua di negara ini telah menggemparkan konstelasi penggangaran Pemerintah Daerah DKI Jakarta. 

Anggota legislatif yang bernama William Aditya mengungkap anggaran lem aibon senilai 82 miliar. Publik sontak terkejut dengan adanya temuan berupa kejanggalan-kejanggalan dalam rancangan keuangan daerah. 

Aksi itu lantas menggaung menuju ruang gelap pembahasan rencana anggaran pemerintah daerah antara legislatif dan eksekutif.

Pembelian-pembelian dimaksud tergolong dalam anggaran belanja barang pakai habis, yakni barang berumur kurang dari 12 (dua belas) bulan. Setelah realisasi pengadaan barang atau jasa tersebut, lalu lenyap tanpa jejak.

Pembelian lem, ballpoint dan barang pakai habis lain merupakan bagian dari belanja barang dan jasa. Dalam kelompok mata anggaran ini pengeluaran lainnya adalah biaya perjalanan dinas dan pemeliharaan aset (pemeliharaan gedung, perbaikan jalan, perbaikan alat dan lain sebagainya).

 Mata anggaran tersebut belum dielaborasi seberapa efektif penggunaannya, kemungkinan terjadinya penyelewengan oleh para birokrat masih terbuka. Penulis mencatat, bahwa ada kasus penggantian atap gedung kantor yang baru berumur dua tahun dengan menggunakan mata anggaran pemeliharaan gedung.


Patut diduga, rencana pembelian barang pakai habis  tersebut merupakan sebuah fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Temuan yang terungkap merupakan penampang pucuk di atas permukaan air yang sebenarnya adalah sebagian kecil dari gumpalan dahsyat sebuah gunung es yang menyelam di bawah permukaan. Suatu polemik yang menjadi puncak dari bongkahan belanja pemerintah daerah yang tidak kentara oleh publik.

Terlebih dahulu harus dipahami komponen-komponen yang membentuk belanja dalam satu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Menurut Kementerian Keuangan, struktur belanja di dalam APBD seluruh Indonesia pada tahun anggaran 2017 senilai Rp.1.052,6 triliun terdiri dari:

  • Belanja untuk (gaji) pegawai sebesar 38,5 %
  • Belanja barang dan jasa sebanyak 22,2 %
  • Belanja modal sebesar 21,1 %  
  • Belanja lainnya sebesar 18,2 %

Namun bukan pos belanja barang dan jasa yang akan menjadi pokok bahasan, mungkin pada artikel lain. Ulasan hanya terbatas kepada pengetahuan a posteriori penulis di bidang konstruksi dan belanja barang-barang pemerintah berusia lebih dari satu tahun yang tercakup dalam kelompok mata anggaran belanja modal. Pengalaman yang digunakan adalah tangkapan penulis pada sebuah kabupaten dengan APBD terbesar se provinsi Jawa Barat.

Kedalam kelompok pembelian barang dan jasa yang mempunyai kemanfaatan lebih dari 12 bulan adalah pembelian tanah, pembangunan gedung dan infrastuktur. Juga disebut sebagai belanja modal. Jejaknya bisa dikuantifikasi.

Termasuk di dalam belanja barang modal adalah pembelian tanah (jarang terjadi), pengadaan inventaris, pembangunan gedung (pekerjaan konstruksi) dan pekerjaan infrastuktur (jalan, jembatan, pengairan).

Pekerjaan-pekerjaan tersebut dipihak-ketigakan melalui proses penunjukan langsung atau lelang sesuai besaran nilai (bisa dibaca di artikel ini). Perikatan antara perusahaan pemenang dengan pemerintah daerah (diwakili Pejabat Pembuat Komitmen Satuan Kerja Perangkat Daerah) berbentuk Surat Perjanjian Kerja atau umum disebut "kontrak".

Nilai pekerjaan yang tertera dalam kontrak sudah termasuk pajak-pajak. Sebagai ilustrasi, belanja modal dari APBD suatu daerah tahun 2019 adalah sebesar Rp. 1.600 miliar. Nilai tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Ilustrasi belanja modal dari APBD suatu daerah tahun 2019
Ilustrasi belanja modal dari APBD suatu daerah tahun 2019
Maka pendapatan kotor sebuah perusahaan yang memperoleh kontrak diperkirakan mencapai 19,4 %. Lho kok masih besar? Padahal menurut norma keuntungan dan biaya overhead perusahaan pemenang adalah sebesar 10-15 %  Belum lagi penurunan harga akibat pengurangan keuntungan. Kemana larinya selisih kelebihan tersebut?

Untuk mendapatkan sebuah proyek pemerintah diperlukan "kesepahaman" dengan pemilik proyek, diwakili oleh pihak eksekutif dan legislatif. Kesepahaman tersebut, tentu saja, berdasarkan transaksi under table. Transaksi yang tidak bertanda-terima atau dilakukan dalam keadaan terang benderang. Biasa disebut commitment fee.

"Penjual" paket proyek tersebut bisa anggota legislatif (ingat kasus banggar DPR RI yang menyeret salah satu pesohor yang mempromosikan anti korupsi) atau Satuan Kerja Perangkat.

Daerah bersangkutan. Besaran transaksi antara 5 - 7 % -- tergantung apakah proyek tersebut "dagingnya tebal" atau "tulang"-- jika dari tangan pertama, sedangkan tarif di "calo proyek" berkisar 10 - 15 % . Berarti sisa keuntungan perusahaan sekitar 12,4 % (bila dikurangi commitment fee 7 %). Biaya lain yang mungkin timbul adalah: biaya asosiasi, biaya entertainment (biaya ini cukup besar, meliputi ongkos karaoke, mancing).

Mengacu pada ringkasan APBD tahun 2017, dari total belanja daerah seluruh Indonsia sebesar Rp. 1.052,6 triliun terjadi realisasi belanja modal sebesar Rp. 222,098 triliun. 

Jika diletakkan asumsi-asumsi sebagai berikut: "terjadi persekongkolan di semua daerah tentang pembahasan anggaran dan ada commitment fee paket proyek sebesar 7 %", maka dapat digeneralisir ada dana haram yang dikantongi, diperkirakan mencapai nilai Rp. 15,55 triliun setiap tahun. Sebuah dugaan sementara menggambarkan jumlah fantastis yang menjadi arena"pesta pora" menggoda bagi oknum-oknum legislatif dan eksekutif.

Jadi, temuan pada Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2020 DKI Jakarta merupakan sebuah fenomena puncak gunung es, dimana penggerogotan belanja modal tenggelam jauh dibawah permukaan hiruk pikuk publik. Diam-diam anggota legislatif dan eksekutif di daerah berbagi proyek lalu bekerjasama dengan pengusaha, "bancakan" tanpa gembar-gembor.

Semoga keberanian legislator muda itu menginspirasi sejawatnya untuk membongkar praktik tidak tercatat tersebut agar eksekutif di seluruh Indonesia tidak berani lagi melanggar sumpah jabatan.

Oh ya, perihal polemik lem aibon di atas, penulis berucap: "Anak muda tersebut telah memporak-porandakan ruang gelap persekongkolan legislatif dan eksekutif yang telah menyemak belukar".

~~Sekian~~
Sumber bacaan: 1, 2 dan 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun