Mohon tunggu...
budi prakoso
budi prakoso Mohon Tunggu... Wiraswasta - mari jaga kesehatan

seorang yang gemar berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jaga Toleransi, Jangan Picu Konflik di Media Sosial

22 Februari 2018   23:41 Diperbarui: 22 Februari 2018   23:47 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi - http://sinarharapan.net

Saat memasuki masa kampanye pilkada serentak, suhu perpolitikan nasional mulai memanas. Partai politik dan tim sukses, telah menyiapkan berbagai cara, untuk mendongkrak elektabilitas paslon yang diusung. Namun tak jarang, cara-cara yang tidak masuk akal kembali dilakukan. Akhir-akhir ini, sentimen agama begitu masif terjadi. Fenomena orang gila menyerang tokoh agama, menjadi pembicaraan yang tidak ada habisnya. Pembicaraan itu terjadi di dunia nyata maupun dunia maya. Di dunia maya, pembicaraan berjalan begitu liar. Analisa yang berkembang juga semakin tidak jelas. Dan kondisi ini pun telah membuat kekhawatiran dan kegelisahan di tengah masyarakat terus menguat.

Bahwa ada orang gila menyerang tokoh agama, itu memang hal yang tidak bisa dibantah. Namun, bahwa penyerangan itu merupakan upaya untuk menghabisi ulama, untuk menyerang Islam, untuk kepentingan tertentu, atau dugaan yang tidak mendasar lain, merupakan hal yang patut dipertanyakan. Bahwa pola yang sama pernah dilakukan pada era orde baru, merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Namun siapa yang bermain dibalik fenomena orang gila menyerang ulama ini? Berbagai dugaan terus bermunculan. Dan besar dugaan, munculnya fenomena ini tidak bisa dilepaskan dengan kepentingan pilkada serentak pada Juni 2018, dan pilpres pada 2019 mendatang.

Mari kita berpikir secara waras. Fenomena yang kembali berulang ini, mempunyai dampak yang begitu masif akibat media sosial. Semua orang memberikan interpretasi sendiri, lalu disebarluaskan. Informasi yang sudah diberi interpretasi ini, kemudian dianggap sebagai sebuah informasi yang benar oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat akan mudah marah. Dan ketika amarah itu sudah mengendalikan diri, maka provokasi demi provokasi akan mudah masuk. Ketika toleransi telah berubah menjadi persekusi maka potensi perpecahan di tingkat masyarakat akan semakin besar. Lalu, siapa yang diuntungkan dalam kondisi seperti ini?

Mari kita belajar dari pengalaman yang lalu. Indonesia adalah negara besar, yang membutuhkan semangat bersatu masyarakatnya. Indonesia negara yang majemuk, yang penuh dengan keberagaman. Untuk itulah, diperlukan sebuah semangat saling toleransi dan menghargai perbedaan. Betul mayoritas Indonesia memilih menjadi muslim. Tapi ingat, Indonesia juga terdapat Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Bahkan di masyarakat pedalaman mungkin masih ada yang menganut aliran kepercayaan. Meski mereka minoritas, mereka juga manusia yang mempunyai hak yang sama.

Media sosial semestinya diposisikan sebagai jembatan, untuk menyatukan setiap perbedaan. Bukan justru digunakan sebagai media untuk memperkeruh suasana. Media sosial harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, jangan dijadikan untuk kepentingan kelompok saja. Ingat, media sosial bisa memberikan dampak negatif, jika memang diarahkan untuk kepentingan negative. Namun jika diarahkan untuk kepentingan yang positif, tentu akan berdampak pada kepentingan semua pihak. 

Mari saling kritik di media sosial, tapi jangan berujung pada konflik. Karena kritik sebenarnya bisa mendewasakan kita semua, dalam upaya untuk saling menghargai antar sesama. Untuk itulah, mari kita saling mengingatkan agar tidak mudah terprovokasi di dunia maya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun