Kehadiran taksi online di Indonesia sejak pertengahan 2010-an menjadi babak baru dalam sektor transportasi publik. Inovasi ini menawarkan kemudahan, efisiensi, dan transparansi tarif bagi masyarakat. Namun, di balik revolusi digital tersebut, lahir pula konflik horizontal antara pengemudi taksi online dan ojek pangkalan (opang) yang merasa tergerus secara ekonomi.
Pemandangan opang menghadang taksi online di depan hotel, stasiun, terminal, bahkan di pinggir jalan umum, bukan lagi kejadian langka. Tak jarang, pengemudi taksi online dipaksa menurunkan penumpang, diintimidasi, bahkan mengalami kekerasan fisik dan perusakan kendaraan. Fenomena ini, sayangnya, sering luput dari penindakan hukum yang tegas.
Lantas, bagaimana seharusnya kita melihat tindakan opang dari perspektif hukum?
1. Penghadangan dan Pemaksaan: Masuk dalam Delik Pidana
Tindakan opang yang menghadang taksi online dan memaksa penumpang turun dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Adapun pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) relevan untuk dikenakan Adalah Perbuatan Tindak Menyenangkan.
Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan berbunyi
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Penjelasan:
Tindakan menghadang, memaksa, dan mengintimidasi agar sopir online menurunkan penumpang atau tidak beroperasi di suatu wilayah jelas termasuk perbuatan tidak menyenangkan yang melawan hukum. Terlebih jika disertai ancaman kekerasan atau kekerasan fisik secara langsung.
2. Ancaman dan Intimidasi: Tindak Pidana Pengancaman
Jika dalam proses menghadang terdapat ancaman terhadap keselamatan sopir online atau penumpangnya, maka dapat pula dikenakan:
Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Penjelasan:
Misalnya, jika opang mengancam agar penumpang turun lalu dialihkan ke kendaraan mereka (opang), maka ada niat untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum. Unsur “memaksa dengan ancaman kekerasan” sudah terpenuhi.
3. Perusakan Kendaraan: Penerapan Pasal 406 KUHP
Sering kali pula penghadangan disertai dengan pelemparan batu ke kendaraan taksi online, memukul bodi mobil, atau merusak spion.
Pasal 406 ayat (1) KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Penjelasan:
Agar pasal ini berlaku, perlu ada bukti konkret bahwa kerusakan benar-benar terjadi dan barang (dalam hal ini mobil atau motornya) rusak sebagian atau seluruhnya akibat perbuatan pelaku. Sekadar ancaman tanpa perusakan nyata belum cukup.
4. Mengganggu Ketertiban Umum: Pelanggaran Hukum Administratif
Aksi-aksi ini juga dapat ditindak berdasarkan peraturan daerah (perda) tentang ketertiban umum yang berlaku di setiap kota. Di banyak daerah, perda melarang:
- Melakukan penghadangan di jalan umum.
- Menghalangi layanan transportasi yang sah.
- Berkumpul secara intimidatif di fasilitas umum.
Namun, ketegasan aparat dalam menegakkan perda ini masih menjadi pekerjaan rumah.
5. Ruang Publik Bukan Milik Kelompok Tertentu
Salah satu akar masalah adalah asumsi sepihak dari sebagian opang bahwa lokasi tertentu adalah “wilayah kekuasaan” mereka, sehingga taksi online tidak boleh masuk. Ini jelas keliru. Jalan dan fasilitas publik adalah milik bersama, bukan hak eksklusif kelompok manapun.
Negara melalui aparat penegak hukum harus hadir untuk memastikan bahwa ruang publik tetap aman dan netral dari intimidasi, premanisme, dan bentuk pemaksaan lainnya.
Penutup: Negara Jangan Abai
Fenomena penghadangan dan pemaksaan oleh opang terhadap pengemudi taksi online bukan sekadar konflik sosial biasa. Ia adalah bentuk nyata pelanggaran hukum yang merampas hak warga negara atas rasa aman, kebebasan bekerja, dan pelayanan transportasi.
Ketika tindakan semacam ini dibiarkan dan tidak ditindak tegas, maka negara telah gagal menjamin keadilan di ruang publik. Penegakan hukum tidak boleh tumpul ke bawah dan tajam ke atas ia harus netral dan hadir untuk semua warga negara, tanpa pandang seragam, status, atau label transportasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI