Mohon tunggu...
Sudut Kritis Budi
Sudut Kritis Budi Mohon Tunggu... Entrepreneur dan Penulis

Penulis opini hukum dan isu-isu publik. Menyuarakan kritik konstruktif berbasis hukum dan nilai keadilan. Karena negara hukum bukan sekadar jargon.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dibalik Denda Rp 25 Juta Guru Madin: Antara Kekerasan Ringan dan Dugaan Pemerasan

19 Juli 2025   09:18 Diperbarui: 23 Juli 2025   09:54 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Generated by DALL-E / ChatGPT (OpenAI)

Kasus guru madrasah diniyah (Madin) di Kabupaten Demak yang viral karena diminta membayar uang sebesar Rp 25 juta oleh orang tua murid usai menampar muridnya tidak hanya mencerminkan kekeliruan dalam relasi guru-murid, tetapi juga membuka tabir persoalan lain yang jauh lebih serius, yakni dugaan tindak pidana pemerasan yang justru dilakukan oleh pihak orang tua murid. Ironis, sebuah kekhilafan guru yang sejatinya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, malah dijadikan alat tekanan yang berujung pada tuntutan uang dengan ancaman hukum.

Kronologi Singkat Kasus
Guru AZ (Mbah Zuhdi), yang sudah mengabdi sebagai guru ngaji dan petani, secara spontan menampar murid karena marah atas ulah murid melempar sandal hingga mengenai pecinya saat ia mengajar. Tamparan tersebut diakuinya sebagai bagian dari teguran mendidik, bukan kekerasan yang melukai. Setelah kejadian, ia telah meminta maaf kepada pihak keluarga murid.

Namun tiga bulan kemudian, muncul tuntutan uang damai Rp 25 juta yang semula berasal dari orang tua murid, lalu melibatkan pihak yang mengaku LSM. Mereka bahkan membawa surat undangan kepolisian guna memberi tekanan agar laporan pidana tetap berjalan jika uang damai tak dibayar. Akhirnya, karena takut dan merasa terdesak, guru tersebut membayar dengan berutang sana-sini.

Tamparan Guru: Kekhilafan yang Bisa Diselesaikan Kekeluargaan
Dalam perspektif hukum pidana, perbuatan menampar tersebut bisa dikategorikan sebagai kekerasan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP:
"Barang siapa melakukan penganiayaan yang tidak mengakibatkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, diancam karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."

Fakta bahwa guru telah meminta maaf dan pihak murid tidak mengalami luka serius atau trauma harusnya mendorong penyelesaian secara kekeluargaan, bukan dilanjutkan ke ranah hukum, apalagi dibarengi tuntutan uang fantastis.

Dalam semangat restorative justice, tindakan guru tersebut lebih patut diproses dalam ranah etik pendidikan, bukan pidana, apalagi sampai menimbulkan beban ekonomi yang tidak wajar.

Permintaan Rp 25 Juta: Dugaan Tindak Pidana Pemerasan
Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan oleh pihak orang tua murid. Permintaan uang damai Rp 25 juta (meski kemudian ditawar hingga Rp 12,5 juta) berpotensi melanggar hukum pidana. Apalagi permintaan itu disertai ancaman laporan ke polisi, yang menimbulkan tekanan mental bagi korban (guru), sehingga unsur pemaksaan psikis terpenuhi.

Bunyi Pasal 368 KUHP (Tindak Pidana Pemerasan):
Pasal 368 KUHP ayat (1):
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, membayar, atau menulis surat hutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Ayat (2):
Dalam hal pemaksaan dilakukan dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, atau dengan memakai kekuatan palsu, atau dengan memakai surat perintah palsu, maka pelaku diancam dengan pidana yang sama.

Penjelasan Unsur Pasal 368 KUHP dalam Kasus Ini:
1. Maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum
→ Orang tua murid meminta uang Rp 25 juta tanpa dasar hukum.
2. Memaksa dengan ancaman (psikis)
→ Ancaman “kalau tidak bayar, laporan polisi jalan terus.” Ini ancaman psikis yang sah secara hukum sebagai paksaan.
3. Agar orang lain memberikan uang
→ Terbukti guru akhirnya membayar meski terpaksa.

Kesimpulan: Unsur pasal terpenuhi.

Keterlibatan LSM: Penyertaan Tindak Pidana (Pasal 55 KUHP)
Dalam kasus ini, pihak LSM ikut menekan guru agar membayar dengan cara membawa-bawa surat polisi. Mereka bisa dipidana sebagai pihak turut serta (medepleger) atau membantu (medeplichtige).

Bunyi Pasal 55 KUHP (Penyertaan):
Pasal 55 ayat (1):
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan itu.
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan, kekerasan, ancaman, atau tipu muslihat, atau dengan memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan itu.

Penjelasan:
LSM yang membantu, menyarankan, atau turut serta menekan guru agar membayar dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pihak turut serta (Pasal 55 KUHP).

Mengapa Ini Bukan Sekadar “Uang Damai”?
Secara prinsip hukum:
1. Damai kekeluargaan tidak boleh disertai tekanan atau ancaman.
2. Permintaan uang yang tidak wajar, tanpa dasar hukum, apalagi disertai ancaman, bukan perdamaian melainkan pemerasan.
3. Uang damai seharusnya diawali dengan keikhlasan kedua belah pihak, bukan intimidasi laporan polisi.

Kritik Terhadap Penegakan Hukum
Kasus ini menunjukkan potret buruknya keadilan pidana kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Guru kecil dipaksa membayar karena takut penjara, sementara pihak yang memeras justru seakan dibiarkan. Kepolisian seharusnya bersikap objektif, tidak hanya memproses laporan orang tua murid, tetapi juga menindak dugaan pemerasan ini.

Jika tindakan semacam ini dibiarkan, ke depan, akan semakin banyak guru, tenaga pendidik, atau pihak kecil lainnya dijadikan objek pemerasan berkedok “damai.”

Penutup: Saatnya Guru Melawan dengan Hukum
Guru Mbah Zuhdi berhak melapor balik orang tua murid dan oknum LSM atas dugaan:
- Pasal 368 KUHP (Pemerasan)
- Pasal 55 KUHP (Penyertaan/Pembantuan)
- Bukti-bukti berupa:
- Kwitansi pembayaran,
- Bukti percakapan,
- Surat undangan polisi yang dipakai sebagai alat tekan,
- Saksi-saksi (perangkat desa, rekan guru, dll),
bisa menjadi kekuatan hukum untuk menuntut keadilan.

Penegakan hukum harus jelas:
Kekerasan ringan oleh guru cukup diselesaikan secara kekeluargaan.
Pemerasan oleh pihak mana pun wajib diproses pidana.
Jika dibiarkan, ke depan bukan hanya guru yang takut mendidik, tapi masyarakat akan percaya bahwa hukum bisa dibeli, ditekan, atau dipermainkan oleh pihak yang mengaku korban.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun