Kasus dugaan korupsi impor gula tahun 2015–2016 yang menyeret eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong telah memunculkan perdebatan tajam:
Apakah kebijakan yang tidak menyalahi aturan eksplisit dan tidak menimbulkan keuntungan pribadi dapat dijadikan dasar pemidanaan korupsi?
Meski Jaksa Penuntut Umum tidak menuduh Tom menerima aliran dana, ia tetap didakwa telah merugikan negara dan memperkaya 10 korporasi karena kebijakan impor gula yang ia terbitkan. Di sinilah muncul pertanyaan krusial:
Apakah kebijakan bisa dijadikan delik pidana hanya karena dianggap salah arah oleh penegak hukum?
Pertanyaan ini kian tajam saat Tom Lembong, dalam pledoinya, membongkar inkonsistensi tuduhan jaksa, perubahan nilai kerugian negara yang signifikan, serta dugaan tebang pilih dalam proses penegakan hukum.
⚖️ 1. Kerangka Hukum: Apakah Tindakan Tom Masuk Kategori Korupsi?
Pasal yang Didakwakan:
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor)
“Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara...”
Pasal 3 UU Tipikor
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan…”
Namun, tidak ditemukan bukti aliran dana kepada Tom. Ia bertindak dalam kapasitas formal sebagai menteri, dan bahkan tidak pernah dituduh menerima keuntungan pribadi.
Lebih lanjut, dalam pledoinya, Tom mempersoalkan perubahan narasi dakwaan yang awalnya menyebut dirinya merugikan negara karena memberikan peluang keuntungan pada industri swasta, namun kemudian berubah menjadi tuduhan baru terkait bea masuk dan harga jual gula.
“Kalau Majelis Hakim membenarkan bahwa memilih mengimpor bahan baku dan bukan barang jadi adalah tindakan pidana karena bea masuknya lebih rendah, maka itu sama saja menyatakan seluruh kebijakan hilirisasi industri di Indonesia sebagai ilegal,” tegas Tom.
📂 2. Audit Kerugian Negara: Bukan Alat Mutlak Pemidanaan
Jaksa mendasarkan tuntutan pada LHP BPKP No. PE.03/R/S-51/D5/01/2025, menyebut kerugian negara sebesar Rp578,1 miliar. Namun:
- Angka ini berubah secara signifikan dari pernyataan awal (sekitar Rp400 miliar).
- Audit baru diserahkan setelah 12 kali sidang berlangsung, sehingga tidak bisa diuji dalam proses pemeriksaan saksi.
- Pergeseran nilai 45% ini dipersoalkan oleh penasihat hukum Tom, karena jauh dari batas wajar revisi dalam akuntansi.
Menurut Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016:
“Kerugian keuangan negara sebagai dasar pemidanaan harus nyata, aktual, dan pasti bukan sekadar potensi atau akibat dari kebijakan ekonomi.”
Apakah laporan audit yang datang terlambat dan tidak bisa diuji silang dapat menjadi bukti sah untuk mendakwa seseorang?
🏛️ 3. Diskresi dalam Hukum Administrasi: Dijamin UU, Bukan Dipidana
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara eksplisit menjamin ruang diskresi:
Pasal 1 angka 9:
“Diskresi adalah keputusan atau tindakan untuk mengatasi stagnasi dalam hal aturan tidak memberikan pilihan atau terdapat kekosongan hukum.”
Pasal 22 ayat (1):
“Pejabat Pemerintahan dapat menggunakan Diskresi untuk melaksanakan wewenangnya.”
Tom Lembong mengklaim tak ada peraturan eksplisit yang dilanggarnya, termasuk soal kerja sama PPI dengan distributor dan BUMN dengan swasta dalam mengolah gula.
Saksi-saksi dari Kemendag pun membenarkan bahwa saat itu tidak ada surplus gula, yang menjadi dasar urgensi kebijakan impor.
⚠️ 4. Masalah Equality Before the Law: Tuduhan Selektif?
Dalam pledoinya, Tom mempertanyakan:
Mengapa hanya dirinya yang dijadikan terdakwa, padahal masa penyidikan yang dicantumkan Jaksa mencakup tahun 2015–2023, dan menteri-menteri setelahnya juga mengambil kebijakan serupa?
“Menersangkakan orang secara selektif dan tidak komprehensif adalah bentuk ketidakadilan. Jika equality before the law berlaku, maka seluruh pejabat yang menerbitkan izin serupa harus diproses hukum,” ujar Tom.
Bahkan, sejumlah koperasi seperti Inkopkar, Inkoppol, Puskopol, dan SKKP TNI-Polri ikut disebut dalam dakwaan tapi tidak ditersangkakan, menunjukkan dugaan tebang pilih yang tak mencerminkan asas hukum yang adil dan setara.
🧠 5. Prinsip Ultimum Remedium: Hukum Pidana Bukan Alat Balas Dendam
Hukum pidana adalah jalan terakhir (ultimum remedium). Ketika digunakan untuk mengadili kebijakan administratif yang tidak menguntungkan secara ekonomi atau dianggap tidak efisien, maka peran hukum bergeser menjadi alat represi, bukan koreksi.
Penasihat hukum Tom, Ari Yusuf Amir, juga menilai bahwa proses penuntutan ini tidak hanya melanggar asas legalitas, tapi juga berpotensi merusak iklim investasi dan kepastian hukum di Indonesia.
“Kalau izin resmi bisa diseret jadi perkara pidana, siapa yang mau berinvestasi? Negara harus menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi investor,” tegasnya.
📌 Penutup: Saat Jaksa Menjadi Pengadil Diskresi
Kasus Tom Lembong memperlihatkan benturan antara logika kebijakan dan logika hukum pidana. Jika seseorang didakwa tanpa menerima keuntungan pribadi, jika audit kerugian negara dipertanyakan, jika dasar aturan tidak dilanggar, dan jika hukum diterapkan secara tidak setara, maka sesungguhnya yang diadili bukanlah korupsi, melainkan kebijakan.
Jika praktik ini dibiarkan, maka:
🟥 Diskresi pejabat publik bisa dikriminalisasi kapan saja.
🟥 Kepastian hukum menjadi ilusi.
🟥 Kritik terhadap kekuasaan bisa dibungkam melalui proses hukum.
📚 Referensi Hukum:
1. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
3. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tentang Kerugian Keuangan Negara
4. KUHP Pasal 55 ayat (1) ke-1
5. LHP BPKP No. PE.03/R/S-51/D5/01/2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI