Mohon tunggu...
Budhi Kusuma Wardhana
Budhi Kusuma Wardhana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja kantoran yang suka baca, penikmat sastra dan teater, menggemari fotografi, mencintai traveling demi sebuah reportase. Baginya menulis adalah bentuk aktualisasi diri, seperti kata Filsuf Perancis Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, yang kemudian diplesetkan menjadi, "Aku Nulis, Maka Aku Ada!". Bisa ditemui di Facebook : budhi.wardhana, Twitter : @budhiwardhana, dan email : budhi.wardhana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Ketika Wanita Ditakdirkan Untuk Belanja

4 Desember 2011   07:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:51 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_143145" align="aligncenter" width="650" caption="Belanja di Pratunam Market / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Wanita mana yang tidak suka belanja? Saya mengawali tulisan ini dengan pertanyaan retoris karena saya yakin hampir semua kaum hawa sungguh menikmati yang namanya shopping. Tak peduli itu di pasar tradisional yang berbecek-becek dan berlumpur-lumpur. Atau di mal modern yang serba rapi, dingin, benderang, di temani senyum manis pramuniaga yang memikat pembeli. Bagi sebagian orang, terutama kaum sophaholic, belanja sudah bertransformasi menjadi kebutuhan primer yang tak bisa ditinggalkan. Barangkali memang ada kenikmatan tersendiri saat mencuci mata dengan barang-barang anyar, lantas mematut di depan cermin atau mencobanya di kamar pas. Jika itu sesuai di hati, sementara isi kantong ikut berkompromi, maka produk idaman akan berpindah tangan tak lama lagi. Mungkin itulah yang terbayang di benak isteri saya begitu mendengar bahwa kami akan mengunjungi Bangkok. Mata isteri saya mendadak berbinar-binar. Ya, pergi ke ibukota Thailand memang salah satu impiannya. Bukan apa-apa. Selama ini dia dibuat penasaran setiap berbelanja di pusat grosir fashion tanah air. Sebab produk-produk negeri gajah putih kini terlihat membanjiri dan bersaing ketat dengan fashion imitasi asal Asia Timur dan dalam negeri. Alhasil, demi memuaskan pengalaman berbelanja di negeri Siam, istriku menyiapkan hampir seluruh simpanannya untuk berburu produk fashion yang menurut dia lucu-lucu. Sayapun hanya bisa geleng-geleng kepala menyimak kelakuannya. Dan dengan santai isteri saya berkilah, "Mas, ini semua bakal aku jual lagi di Jakarta." Wah, boleh juga otak bisnis isteri saya. [caption id="attachment_153548" align="aligncenter" width="650" caption="ABG Thailand yang Shopaholic / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Mengawali petualangan belanja di tanah Siam kami menyusuri Bobae Market. Menurut buku backpacker yang ditulis oleh Hairun Fahrudin, pasar ini adalah tempat perkulakan konveksi yang masih jarang dikunjungi turis. Di sinilah pusat jins, garmen, dan baju bordir. Tempatnya tak begitu jauh dari tempat kami menginap di Khaosan Road. Dengan sedikit berjalan kaki ke arah Mahakan Fort, kami menggunakan angkutan sungai bertarif 9 baht (atau tak lebih dari tiga lembar seribuan) yang membelah kanal Saen Saep menuju Pasar Bobae. Saya berpikir barangkali tempat ini tak beda jauh dengan Pasar Tanah Abang. Dugaan saya memang tak terlalu meleset. Di tempat ini berjajar lapak-lapak yang berjualan aneka konveksi. Produk fashion-nya cenderung konvensional yang banyak dipakai masyarakat umum. Tempatnya tak beraturan dan kelihatan semrawut. Lapak-lapak didirikan asal-asalan sebagai bangunan semi permanen, mirip kios pedagang kaki lima. Semula saya ragu, apa bedanya dengan belanja di lapak pinggir jalan? Namun, setelah mencoba masuk ke beberapa kios, baru saya mengerti bahwa untuk berbelanja di sini kita harus membeli dalam partai besar, minimal satu lusin untuk barang yang sama. Tentang masalah harga ternyata jauh lebih murah dibandingkan di pusat grosir tanah air. Isteri saya tertarik untuk membeli beberapa rok panjang yang kelihatan sedang trend. Penjualnya seorang imigran asal Mumbai India. Jadi kami tak terlalu kesulitan menawar karena bahasa Inggrisnya sangat fasih. Kabarnya baju-baju ini sengaja didatangkan dari Mumbai. Saya geleng-geleng kepala, kalau harganya bisa semurah ini, lantas berapa ongkos produksinya? [caption id="attachment_153549" align="aligncenter" width="650" caption="Menawar Harga di Chatuchak Weekend Market / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Esok hari adalah Sabtu yang cerah. Ritual belanja berikutnya adalah ke pasar akhir minggu yang paling populer di seluruh Kota Bangkok. Chatuchak Weekend Market. Konon inilah kapal induknya belanja, dengan lebih dari lima belas ribu kios seluas total 1,15 kilometer persegi! Tercatat pasar ini sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Segala barang dari seluruh penjuru Thailand tersedia di sini dengan harga yang cukup rendah. Namun fashion tetaplah menjadi produk unggulan yang paling ramai dikunjungi para fashionista. Tempat ini bisa dicapai dengan beragam cara. Saya lebih memilih menggunakan sky train yang meluncur langsung dari Stasiun Siam Square menuju Stasiun Mochit. Selanjutnya, tinggal mengikuti petunjuk arah yang sangat jelas hingga memasuki kawasan pasar Chatuchak. Memasuki pasar ini adalah merasakan surga bagi penggila belanja. Di akhir pekan mereka boleh bersuka ria dari pukul 7.00 hingga 18.00. Beragam orang dari berbagai negeri tampak tumpah ruah menikmati pengalaman belanja. Sesekali di antara wajah-wajah lokal Thai dan bule, saya bertemu rombongan orang yang tampak akrab berbicara lo gue. Seseorang di sebelah saya terlihat memborong puluhan T-Shirt bergambarkan panorama Thailand. Lantas dia berbicara pada temannya dengan logat Jakarta, "Ini semua untuk nyokap gue, bokap gue, tetangga gue, adik gue, temen-temen gue..." Belum habis dia berbicara, saya sudah keburu pergi. Tak sampai dua jam berkeliling saya sudah kecapekan dan memilih duduk di dekat toilet. Di sinilah saya bertemu dengan rombongan ibu-ibu dari Jakarta yang banyak bercerita tentang pengalaman mereka menjelajah negeri gajah putih. Tampaknya mereka adalah shopaholic sejati yang menemukan oase kepuasan di tempat ini. Kemudian mereka merekomendasikan mal-mal di Bangkok yang layak dikunjungi lantaran kualitas barangnya yang bagus dan harganya yang miring. Gayung pun bersambut. Rupanya isteri saya mencatatnya dalam hati dan malamnya dia merengek-rengek minta diantar keesokan pagi. Saya hanya bisa garuk-garuk kepala. [caption id="attachment_153552" align="aligncenter" width="650" caption="Pratunam Market / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Platinum Fashion Mall adalah tempat yang paling direkomendasikan bagi para penggila fashion dan belanja demi mendapatkan produk yang trendi dengan harga miring. Tempat ini seperti Mangga Dua dengan penataan tempat yang lebih rapi dan barang-barang yang jauh berkualitas. Mall ini sarat dengan mayoritas kaum hawa yang melampiaskan naluri belanjanya. Bahkan beberapa kali saya melihat mereka menyeret tas plastik ukuran super besar yang isinya barang belanjaan mereka. Olala. Di sekitar Platinum ada beberapa pusat perbelanjaan lainnya yang tak kalah ramainya. Bahkan tak jauh dari situ berdiri Pratunam Market, sebuah pasar tradisional yang mampu memberikan warna lain di tengah kepungan perbelanjaan modern. Beragam model pakaian dijual di tempat ini. Tak heran harga di Pratunam Market lebih murah dibandingkan tempat lain karena pasar ini memang belum terlalu populer di kalangan turis asing. Makanya saya jarang sekali menemukan bule yang blusukan ke tempat ini. Usai ngubek-ngubek Platinum dan Pratunam saya benar-benar terperanjat melihat begitu banyaknya belanjaan isteri saya. Meski begitu, kami tetap nekat untuk kembali ke penginapan dengan berdesakan menumpang bis kota. Sialnya, kali ini kami salah naik bis kota dan nyasar ke tempat yang sama sekali tidak kami ketahui. Lebih parahnya lagi kondektur bus tak bisa diajak berkomunikasi karena tak mengerti Bahasa Inggris. Malam sudah menunjukkan angka setengah sembilan. Dengan barang belanjaan yang segunung, kami tersesat di negeri orang. Duh! Untunglah di tengah kepanikan, seorang lelaki datang bagai malaikat dan menunjukkan kami jalur pulang sembari mengantar kami ke halte bis terdekat. Bahasa Inggrisnya parah sekali, tapi cukup bisa saya mengerti. [caption id="attachment_153553" align="aligncenter" width="650" caption="Lalu Lintas di Depan Platinum Fashion Mall / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Beberapa saat berselang, bis yang ditunjukkan lelaki tadi datang. Isteri saya yang terlanjur kesal dan capek menyuruh saya untuk menanyakan dulu ke sopir bus apakah ini menuju ke penginapan kami di Khaosan Road. Saya setuju. Segera saya naik dan bertanya ke sopir, "Khaosan Road?" Sopir itupun mengangguk dan segera menutup pintu. Bis pun langsung beranjak meninggalkan isteri saya yang tertinggal di halte. Sontak saya berteriak ke sopir itu. "My wife... my wife..," teriakku sambil menunjuk ke arah halte. Sopir itu tak mengerti dan tetap menginjak pedal gasnya. Saya ingin turun segera, tapi sekali lagi ini bukan Kopaja atau bis umum di Jakarta yang bisa berhenti senak udel. Akhirnya dengan lemas saya terduduk di kursi bis, membuka Blackberry dan mengirim pesan kepada isteri. "Sudahlah, kamu naik bis yang sama. Nanti aku tunggu di halte dekat Khaosan Road." Send. "Kamu gimana sih, masak isteri ditinggal sendiri! Sudah malam lagi! Dasar suami nggak bertanggung jawab..." Pesan-pesan berikutnya adalah sumpah serapah isteri saya. Kembali saya hanya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. [caption id="attachment_153554" align="aligncenter" width="650" caption="MBK Center / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Pengalaman kesasar ini tidak membuat saya jera untuk menggunakan bis kota di ibukota negeri gajah putih. Juga tidak membikin isteri saya kapok belanja di Bangkok. Esok paginya kembali dia mengajak saya ke pusat perbelanjaan yang lain untuk belanja oleh-oleh. Sasaran kami berikutnya adala MBK yang merupakan singkatan dari Mah Boon Kroong, nama dari orang tua pengembang pusat perbelanjaan ini. Di tempat ini kami sengaja membeli beragam suvenir negeri gajah putih. Awalnya kami membeli kaos dengan desain unik yang berbandrol 99 baht atau tak lebih dari tiga lembar puluhan ribu rupiah. Lantas kami mencari kenang-kenangan berupa patung Reclining Buddha, gantungan kunci, dan juga beberapa tenunan kain khas Thai. Tak lupa kami membeli buah-buahan olahan yang dikemas dalam plastik. Terlihat  di kios sebelah daging buaya yang juga sudah dikemas rapi. Bahkan ada beberapa yang bisa dicicipi pembeli. Saya bergidik dan mendadak kehilangan selera makan. Lepas dari MBK, kami menyambangi Siam Square yang menjadi maskot modernitas Bangkok. Siam Paragon dan Siam Discovery Center adalah dua pusat perbelanjaan modern di kawasan Siam yang memajang barang-barang branded berharga selangit. Demi menuntaskan keinginan isteri, kami pun menyusuri butik-butik terkenal di dalamnya. Sebutlah merk-merk semacam Hermes, Louis Vitton, Channel, Chloe, atau D&G yang membuat isteri saya berdecak-decak kagum. Tapi untuk membelinya, tentunya kami harus berpikir ulang jutaan kali. [caption id="attachment_153578" align="aligncenter" width="650" caption="Bergadget-ria di Pusat Belanja Modern Siam Square / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption] Orang yang pintar tiba di Bangkok dengan koper yang kosong dan kembali dengan koper yang penuh. Begitulah tulisan di sebuah brosur wisata terbitan Tourism Authority of Thailand demi menggambarkan ibukotanya sebagai pusat perbelanjaan terbaik di dunia. Tanpa kami sadari hasil petualangan berbelanja di Bangkok membuat tas ransel kami telah beranak dua biji. Satu buah ransel backpack yang kami beli di Chatuchak dan satu tas plastik ukuran 80 cm. Belum lagi tas ransel saya lainnya yang mengangkut peralatan fotografi. Jadi totalnya saya akan membawa empat buah tas raksasa ke tanah air. Perjalanan pulang menuju bandara juga menjadi catatan tersendiri. Kami sengaja tidak menyewa taksi tetapi menumpang minivan bersama puluhan backpacker bule lainnya. Awalnya sang sopir kelihatan sebal demi melihat barang kami yang seabrek-abrek mirip bawaan para transmigran. Namun kami cuek saja. Toh bagaimanapun juga itu sudah merupakan tugasnya untuk mengatur puluhan backpack dan barang bawaan yang super jumbo di atap kendaraan. Memasuki kawasan bandara di Bangkok Timur agaknya tidak membuat naluri belanja isteri saya berhenti sampai di sini. Dia kumpulkan recehan baht untuk membeli sebotol Parfum Kenzo original bebas pajak di pusat perbelanjaan modern Bandara Internasional Suvarnabhumi. "Lumayan, lebih murah daripada beli di Indonesia," ujarnya dengan senyum dikulum. Setibanya di Bandara Internasional Soekarno Hatta isteri saya dibuat terheran-heran ketika barang-barang kami lolos begitu saja dari pemeriksaan custom bea cukai. Hal ini berbeda sekali saat dia pulang kulakan barang dari Guangzhou China, ketika itu koper istri saya harus dibongkar dan diperiksa teliti. Saya pun cuma menanggapi dengan berseloroh, "Mungkin tampang kita yang kumal ala backpacker ini tidak meyakinkan mereka kalau kita bisa shopping ke luar negeri." Dan istri saya cuma manggut-manggut mengiyakan sembari menahan senyum. [caption id="attachment_153579" align="aligncenter" width="650" caption="Para Biksu yang Berbelanja di Chatuchak Weekend Market / Foto : Budhi K. Wardhana"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun