Mohon tunggu...
Encep Hanif Ahmad
Encep Hanif Ahmad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning how to Learn

seorang manusia biasa yang sedang belajar cara belajar

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Fatherless

27 Februari 2024   22:48 Diperbarui: 27 Februari 2024   22:48 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Agak ragu dia mengambil Cheese Mozzarella Fried Fries, kelihatannya dia mulai kenyang. Dia meminum minumannya. "Kalo sudah kenyang, gak papa, bisa dibungkus," kataku. Tanpa menjawab, dia menatapku sekilas, lalu mulai menyantap Fried Friesnya. Sekarang perlahan, tak seperti dua menu sebelumnya.

Di stage, penyanyi mulai melantunkan melodi dan lagu cinta. Aku masih diam menatap Narendra sambil menikmati alunan musik. Namun, kepalaku berputar-putar mencari cara untuk memulai obrolan mendalam dengan Narendra. Ku seruput teh tawar yang terasa makin pahit untuk menenangkan jiwa. Tegukan teh tawar tak mampu menyegarkan tenggorokan yang terasa makin kering.

Lebih lama dari sebelumnya, Fried Fries pun akhirnya habis disantap. Narendra membereskan piringnya, kemudian minum minumannya secara perlahan. "Sudah kenyang? Roti bakarnya boleh dibungkus kok," kataku untuk meyakinkan bahwa dia tidak usah memaksakan diri untuk menghabiskannya. "Dibungkus aja," jawabnya singkat.

"Saatnya memulai deep talk," pikirku. Aku mengambil kembali HP-ku, lalu menyimpannya. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk memulai obrolan. Jujur, aku masih bingung harus mulai dari mana. Pengalamanku yang cukup panjang sebagai fasilitator pelatihan serasa gak guna sama sekali.

"Kang, tahu gak yang namanya akil baligh?" tanyaku to the point. Sambil memainkan sedotan minumannya dia menjawab, "Itu mah sudah dibahas di sekolah waktu kelas lima."

"Jadi sudah tahu dong ciri-cirinya apa saja," kataku. "Tumbuh jakun, tumbuh bulu, kumis, dan jenggot," jawab Narendra. "Ada lagi?" tanyaku lebih jauh. "Keringatnya bau, Bu Menah (wali kelasnya) suka bilang keringat anak-anak bikin bau kelas," kata Narendra.

"Oh ya? Jadi udah pada akil baligh dong," kataku menimpali. "Ya gak tau," jawabnya singkat. "Memangnya gak pernah ngobrolin sama temen-temen?" tanyaku lagi sambil ku tatap lembut. Dia terdiam sejenak, sambil malu-malu perlahan berkata, "Pernah sih, teman-teman bilang di selangkangannya sudah tumbuh bulu, aku juga bilang begitu, tapi pada gak percaya."

"Oh gitu?" komentarku sambil berpikir keras apa lagi yang akan aku sampaikan. "Eh tapi, beneran Kakang sudah ada bulu di selangkangan?" tanyaku. "Iya, tapi masih tipis-tipis," jawabnya dengan mimik lucu (di mataku).

Ku tahan senyumku, aku tak ingin dia menangkap kesan bahwa aku menertawakan dirinya, walau jujur aku ingin tertawa melihat ekspresinya yang lugu dan malu-malu, sungguh lucu dan menggemaskan.

"Itu salah satu tanda bahwa Kakang sudah mulai akil baligh, Rama juga lihat suara Kakang sudah mulai berubah," kataku dengan mimik semacam serius sambil ku tatap mukanya dengan lembut. "Aku kan lagi flu," jawabnya mengelak bahwa suaranya sudah mulai berubah.

"Gak papa juga kalau berubah, itu memang proses alami," kataku mencoba memberi pengertian dan menenangkan bahwa hal itu adalah proses yang normal. "Oh iya, Kakang pernah tahu yang namanya mimpi basah?" lanjutku. "Itu ciri yang utama (akil baligh)," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun