Mohon tunggu...
KOMENTAR
Parenting Pilihan

Fatherless

27 Februari 2024   22:48 Diperbarui: 27 Februari 2024   22:48 96 2
Sore ini, aku menjemput Narendra (11 tahun) dari tempat les. Tak seperti biasanya, kali ini tak langsung pulang. Pagi tadi, kubilang padanya, "Nanti sepulang les, kita jalan berdua ya, ngobrol-ngobrol urusan lelaki." Narendra hanya tersenyum sebagai jawaban.

Ku arahkan si Yupiter Z menuju sebuah kafe di kawasan Tegar Beriman. Sampai parkiran, kami turun. "Ibu mana?" tanyanya dengan raut muka mencari. "Ibu masih di Jakarta, ambil obat untuk nenek," jawabku singkat. "Rayi mana?" tanyanya lagi. "Di rumah," kataku. "Kenapa gak ajak Ibu sama Rayi?" tanyanya lagi. "Kan sudah dibilang, kita jalan berdua aja," kataku sambil tersenyum.

"Cari tempat yang enak," pintaku padanya saat berjalan bersama memasuki kafe. Posisiku sedikit di belakangnya. Ku tatap sosok bujang di depanku. Perawakannya tinggi berisi untuk anak seumurannya, bahunya lebar menggambarkan dada yang bidang. "Ah, tak terasa, sudah besar ternyata anakku," kataku dalam hati.

Dia memilih tempat di dekat stage live musik. Kami duduk berhadapan. Tak lama waiter mengantar daftar menu. "Untuk pemesanannya langsung ke kasir ya Pak," katanya ramah. "Ok, terima kasih," jawabku.

Kuserahkan kertas menu ke Narendra. "Pesan apa yang Kakang mau," kataku. Dia pun menconteng beberapa hidangan, ada Curry Chicken Katsu, Indomie Goreng Telur, Mozzarella Cheese Fried Fries, dan Roti Bakar. "Pria punya selera," pikirku. "Itu bisa habis? Sayang kalau gak habis," ucapku. "Takut gak abis atau budgetnya gak cukup?" tanyanya sambil senyum dikulum.

"Kalau bisa habis sih gak papa, minumannya udah dipesan?" lanjutku. Dia menconteng lagi pesanan minuman, kemudian diserahkan menunya padaku. Ku lihat daftar menu minuman, lalu kuconteng Teh Tawar Hangat. Aku pun berjalan ke kasir untuk melakukan pemesanan dan pembayaran.

Setelah selesai urusan dengan kasir, aku kembali ke tempat duduk. "Gimana lesnya, lancar?" tanyaku membuka obrolan ringan. Dia pun berceloteh panjang mengenai les matematikanya dengan tanpa beban. Obrolan tentang pelajaran les dan sekolah berlangsung lancar tanpa hambatan.

Selang berapa lama, pesanan pun mulai datang. Dia memilih Curry Chicken Katsu yang pertama kali disantap. "HP, aku mau nonton, sudah ada list yang mau ditonton, untuk curry tontonannya Doraemon yang ibu-ibu berebut masakan," katanya menjelaskan. Narendra punya kebiasaan menonton hal yang terkait makanannya jika sedang makan.

Kuberikan HP-ku padanya. Dia pun mulai menyantap makanannya sambil menonton Youtube. Aku memilih untuk diam, hanya menatapnya yang sedang menikmati hidangan. Ekspresi wajahnya polos (poker face) tapi terlihat begitu menikmati hidangan yang ada. Sesekali ku seruput teh tawar hangatku.

Kelar menyantap Chicken Katsu dia merapikan piring bekasnya, sendok garpu ditelungkupkan sejajar di atas piring, lalu dipindah ke bagian pinggir meja. Setelah itu, tanpa ba bi bu langsung mengambil Indomie Goreng dan mulai menyantapnya.

Aku menatapnya sambil tersenyum. Sesekali dia melirikku. "Tadi siang aku kan gak makan," katanya seakan klarifikasi. Tak memakan waktu lama, seporsi Indomie Goreng pun tandas tak tersisa. Seperti tadi, dia bereskan piringnya, lalu ditumpuk dengan piring bekas Chicken Katsu tadi.

Agak ragu dia mengambil Cheese Mozzarella Fried Fries, kelihatannya dia mulai kenyang. Dia meminum minumannya. "Kalo sudah kenyang, gak papa, bisa dibungkus," kataku. Tanpa menjawab, dia menatapku sekilas, lalu mulai menyantap Fried Friesnya. Sekarang perlahan, tak seperti dua menu sebelumnya.

Di stage, penyanyi mulai melantunkan melodi dan lagu cinta. Aku masih diam menatap Narendra sambil menikmati alunan musik. Namun, kepalaku berputar-putar mencari cara untuk memulai obrolan mendalam dengan Narendra. Ku seruput teh tawar yang terasa makin pahit untuk menenangkan jiwa. Tegukan teh tawar tak mampu menyegarkan tenggorokan yang terasa makin kering.

Lebih lama dari sebelumnya, Fried Fries pun akhirnya habis disantap. Narendra membereskan piringnya, kemudian minum minumannya secara perlahan. "Sudah kenyang? Roti bakarnya boleh dibungkus kok," kataku untuk meyakinkan bahwa dia tidak usah memaksakan diri untuk menghabiskannya. "Dibungkus aja," jawabnya singkat.

"Saatnya memulai deep talk," pikirku. Aku mengambil kembali HP-ku, lalu menyimpannya. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk memulai obrolan. Jujur, aku masih bingung harus mulai dari mana. Pengalamanku yang cukup panjang sebagai fasilitator pelatihan serasa gak guna sama sekali.

"Kang, tahu gak yang namanya akil baligh?" tanyaku to the point. Sambil memainkan sedotan minumannya dia menjawab, "Itu mah sudah dibahas di sekolah waktu kelas lima."

"Jadi sudah tahu dong ciri-cirinya apa saja," kataku. "Tumbuh jakun, tumbuh bulu, kumis, dan jenggot," jawab Narendra. "Ada lagi?" tanyaku lebih jauh. "Keringatnya bau, Bu Menah (wali kelasnya) suka bilang keringat anak-anak bikin bau kelas," kata Narendra.

"Oh ya? Jadi udah pada akil baligh dong," kataku menimpali. "Ya gak tau," jawabnya singkat. "Memangnya gak pernah ngobrolin sama temen-temen?" tanyaku lagi sambil ku tatap lembut. Dia terdiam sejenak, sambil malu-malu perlahan berkata, "Pernah sih, teman-teman bilang di selangkangannya sudah tumbuh bulu, aku juga bilang begitu, tapi pada gak percaya."

"Oh gitu?" komentarku sambil berpikir keras apa lagi yang akan aku sampaikan. "Eh tapi, beneran Kakang sudah ada bulu di selangkangan?" tanyaku. "Iya, tapi masih tipis-tipis," jawabnya dengan mimik lucu (di mataku).

Ku tahan senyumku, aku tak ingin dia menangkap kesan bahwa aku menertawakan dirinya, walau jujur aku ingin tertawa melihat ekspresinya yang lugu dan malu-malu, sungguh lucu dan menggemaskan.

"Itu salah satu tanda bahwa Kakang sudah mulai akil baligh, Rama juga lihat suara Kakang sudah mulai berubah," kataku dengan mimik semacam serius sambil ku tatap mukanya dengan lembut. "Aku kan lagi flu," jawabnya mengelak bahwa suaranya sudah mulai berubah.

"Gak papa juga kalau berubah, itu memang proses alami," kataku mencoba memberi pengertian dan menenangkan bahwa hal itu adalah proses yang normal. "Oh iya, Kakang pernah tahu yang namanya mimpi basah?" lanjutku. "Itu ciri yang utama (akil baligh)," ujarnya.

"Kakang sudah tahu mimpi basah?" tukasku cepat. "Itu di buku sekolah," jawabnya. "Kakang tahu mimpi basah itu seperti apa?" tanyaku menyelidik lebih jauh. "Gak tahu," jawabnya singkat. "Pernah ngobrolin sama temen-temen tentang mimpi basah?" tanyaku lagi. "Gak pernah," katanya.

Sejenak sama-sama terdiam. "Mimpi basah itu, memimpikan sesuatu yang mungkin sebelumnya gak pernah dialami atau dibayangkan, rasanya enak banget, dan pas bangun, celana bisa basah dan lengket karena dari penis keluar cairan, mirip ngompol lah," kataku perlahan mencoba memberikan penjelasan. Dia terdiam sambil menatapku.

"Tapi, cairannya gak bau ompol, lebih seperti bau bayclin dan lengket-lengket gitu," kataku menjelaskan lebih jauh. "Warnanya putih atau cuma bening," lanjutku. "Aku gak tau bau bayclin," balasnya. "Kakang pernah mimpi seperti itu?" tanyaku. Narendra hanya menggeleng.

"Suatu saat mungkin Kakang akan mengalaminya, gak perlu bingung atau khawatir, karena itu hal yang wajar dan normal," kataku. "Kalau Kakang mengalami itu, tandanya Kakang sudah mulai dewasa, memasuki akil baligh," lanjutku lagi. Dia hanya terdiam memperhatikan omonganku.

"Kakang sudah tahu konsekuensi dari akil baligh?" tanyaku. "Sholat gak boleh tinggal," jawab Narendra. "Betul, dalam konteks beragama, setiap perbuatan sudah menjadi tanggung jawab pribadi," kataku menambahkan. "Bukannya dosa masih ditanggung orang tua sampai menikah?" tanyanya polos. "Wah, kalau sampai menikah, gimana yang nggak nikah-nikah, kasihan dong orang tuanya," jawabku sambil tersenyum.

"Nah, menjadi akil baligh itu, tidak perlu semua ciri-ciri terpenuhi, cukup satu saja dialami, sudah masuk akil baligh itu, bahkan jika tak ada satupun ciri-ciri yang muncul, pada umur 15 tahun, otomatis akil baligh," panjang lebar aku menjelaskan. "Gitu ya Rama," kata Narendra sambil manggut-manggut. "Iya," jawabku.

"Tadi Kakang bilang salah satu konsekuensi dari akil baligh adalah sholatnya gak boleh ketinggalan, iya kan?" kataku. "Iya," ujar Narendra pelan.

"Syarat sah sholat itu diantaranya suci dari hadas besar dan hadas kecil," kataku menjelaskan. "Kalau itu tidak terpenuhi, gak sah sholatnya," lanjutku lagi. Narendra diam mendengarkan.

"Karena Kakang sudah punya salah satu ciri akil baligh, sudah tumbuh bulu di selangkangan, suara juga sudah mulai berubah, menurut Rama sekarang Kakang sudah mulai masuk akil baligh, walau mungkin resminya kalau sudah mimpi basah," kataku sambil tersenyum. "Maka, konsekuensi akil baligh juga sudah mulai berlaku," lanjutku lagi sambil melihat respon Narendra. "Iya, sholatnya gak boleh ketinggalan," jawabnya.

"Nah, jadi Kakang harus tahu caranya bersuci, biar sholatnya sah," kataku. "Ada yang disucikan cukup dengan berwudhu, ada juga yang harus mandi junub," lanjutku menjelaskan. "Mandi wajib!" tukas Narendra mengoreksi. "Iya, mandi junub itu sama dengan mandi wajib," jawabku.

"Kalau dari penis Kakang nanti keluar cairan seperti yang Rama bilang, baik karena mimpi basah ataupun penyebab lainnya, harus disucikan dengan cara yang benar," jelasku lebih lanjut. "Mandi wajib ya Rama?" tanya Narendra.

"Tidak selalu, tergantung jenis cairan yang keluar," jawabku. "Kalau air kencing, Kakang tahu cara mensucikannya?" tanyaku. Singkat dia menjawab, "Wudhu." Aku mengangguk, "Iya, benar."

"Sebenarnya, selain air kencing, cairan yang keluar dari penis itu ada 3 jenis, yaitu air mani atau sperma, madzi, dan wadi, yang harus disucikan dengan mandi wajib itu, hanya air mani, lainnya cukup dengan berwudhu seperti kencing," ucapku menjelaskan. Dia diam tak berkomentar. "Selain disucikan, tentu juga semua cairan itu harus dibersihkan, dibasuh dengan air yang terkena cairan itu," lanjutku menjelaskan.

"Kakang sudah tahu kan sperma itu apa?" tanyaku. Dia diam, lalu perlahan menjawab, "Sel cikal bakal janin jika bertemu dengan sel telur," jawabnya sambil matanya menatapku dengan sorot bertanya untuk memastikan. "Iya, jika sperma bertemu sel telur, bisa jadi janin dalam rahim perempuan," jawabku.

Pengetahuan Narendra tentang organ reproduksi telah didapatkan sewaktu dia TK (umur 5 atau 6 tahun), waktu itu kami (aku dan istri) membelikan buku bergambar pengenalan anatomi manusia untuk anak, maksudnya sih biar dia tertarik dengan dunia kedokteran, tapi sepertinya misi tersebut belum berhasil, karena saat ini dia lebih tertarik dengan fisika dan pemrograman. Pertanyaan yang tertunda jawabannya saat itu adalah "Bagaimana caranya sel sperma Rama bisa bertemu dengan sel telur Ibu?" Tapi sepertinya dia sudah lupa dengan pertanyaan itu, padahal kami (aku khususnya) masih belum mampu jawab kayaknya.

"Ciri sperma itu seperti yang Rama bilang tadi, warnanya putih, kental, baunya kayak bayclin, keluarnya muncrat, biasanya pas keluar rasanya enak banget," kataku. Narendra memperhatikan, raut mukanya campur aduk, merona malu plus ada bingung juga sepertinya.

"Kalau madzi, tidak berwarna, bening, tidak berbau khusus, teksturnya lengket-lengket gitu, biasanya keluarnya meleleh, mendahului sperma, karena berfungsi sebagai pelumas agar sperma bisa keluar lancar dan gak rusak," ocehku sedikit ngawur.

"Kalau wadi, mirip sperma, cuma lebih keruh, gak ada bau khas, biasanya keluar setelah kencing," tambahku. Narendra hanya memperhatikan tanpa berkomentar apapun.

"Jadi, Kakang tahu kan kapan saatnya harus bersuci dengan mandi wajib, dan kapan saatnya cukup dengan berwudhu?" tanyaku memastikan. Tapi dia diam saja, tak mengiyakan ataupun menolaknya, mungkin kepalanya masih memproses informasi yang dijejalkan bertubi-tubi.

"Itu konsekuensi akil baligh menurut pandangan keagamaan, terkait dengan bersuci, dan tanggung jawab atas setiap tindakan," kataku lebih lanjut.

"Dalam konteks umum dan kesehatan, konsekuensinya adalah harus lebih menjaga kebersihan diri, karena kalau gak dijaga, sekurangnya bisa bau keringat kata Bu Menah mah," uraiku panjang lebar. "Selain itu, harus menjaga farji (kemaluan) atau aurat, makanya kalau mandi, jangan telanjang dari luar, buka-buka bajunya di kamar mandi saja," lanjutku. "Aku juga di dalam rumah kok," jawab Narendra. "Di rumah juga kan ada yang bukan mahram, jadi harus di kamar mandi," kataku lagi.

"Ingat hal-hal yang gak boleh disentuh (orang lain), bibir, dada, perut, dan yang ditutup oleh kancut, yaitu kemaluan dan pantat, itu daerah pribadi namanya," ucapku melanjutkan. "Kita gak boleh sentuh punya orang lain, demikian sebaliknya," kataku menegaskan.

"Terus, kalau nanti Kakang sudah ngerasain mimpi basah, keluar sperma, Rama pesan, jangan mengeluarkannya dengan sengaja, sampai nanti Kakang menikah," ujarku perlahan tapi tegas.

"Ada yang mau ditanyakan gak Kang?" tanyaku. Narendra hanya menggeleng. Ekspresinya datar, sulit ditangkap bagaimana perasaannya.

"Oh iya Kang," kataku lebih santai dan melunak, "mungkin suatu saat, Kakang punya rasa tertentu sama temen perempuan, suka ngelihatnya, pengennya deket, kangen pengen ketemu, tapi kadang malu, Kakang gak perlu bingung atau khawatir, itu perasaan yang wajar dan normal saja."

"Kalau ada perasaan yang aneh, membingungkan, ataupun bikin khawatir, Kakang boleh kok nanya-nanya sama Rama atau Ibu, gak perlu malu, Insya Allah dijawab tuntas, kalau pun Ibu sama Rama belum bisa jawab, kita cari jawabannya sama-sama, bisa tanya ke pak Mubaligh atau yang lainnya," kataku.

"Kakang juga sudah boleh lho jadi imam sholat di rumah, jadi kalau Rama lagi gak ada, tetap bisa sholat berjamaah, Kakang imamnya," kataku sambil menepuk bahunya. "Bacaan sholatnya jangan sampe ada yang lupa-lupa, dan hafalan suratnya diperbanyak," tambahku lagi.

Dia diam mendengarkan ceramahku. Perlahan kucium ubun-ubunnya sambil ku usap kepalanya, "Ibu sama Rama sayang, dan bangga sekali sama Kakang." Dia seperti salah tingkah, tapi tak menolak. "Ibu sama Rama selalu ada buat Kakang sama Rayi, jadi kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati, ada rasa-rasa yang belum pernah Kakang rasa sebelumnya, atau apapun, jangan ragu untuk bilang sama Ibu atau Rama," kataku. "Oke, Kang?" tanyaku menegaskan. Dia hanya mengangguk pelan.

"Ada yang mau ditanyakan atau disampaikan sama Rama?" tanyaku. Dia diam saja, gesturnya tak begitu nyaman. "Kalau gak ada, sekarang kita pulang, rotinya mau dihabiskan atau dibungkus?" tanyaku lagi. "Dibungkus aja," jawabnya, ekspresinya sudah mulai kembali normal. Aku meminta waiter membungkus roti bakarnya, lalu kami pun pulang.

***

Kejadian di atas merupakan pengalaman pertama kalinya kami pergi dan ngobrol hanya berdua (maksudnya ngobrol secara khusus/we time). Terasa ada jarak ketika obrolan menyentuh rasa dan hal-hal pribadi. "Ah, ternyata aku belum bisa hadir sebagai sosok ayah yang dekat dengannya," gumam hatiku.

Dalam keseharian kami terbilang cukup dekat, secara fisik aku relatif selalu hadir dalam aktivitas pertumbuhannya. Namun ternyata, dalam urusan rasa, terasa berjarak, ada dinding yang menyekat. Aku merasa belum bisa menjadi bagian dari dirinya, belum bisa memberi nyaman untuknya.

"Maafkan Rama ya Kang, Rama akan selalu berusaha untuk bisa jadi ayah yang membimbing sekaligus teman yang akrab bagi Kakang."

Dapat dibayangkan, bagaimana dengan mereka yang secara fisik saja sudah berjarak, apalagi kedekatan jiwa. Anak-anak itu hanya memiliki ayah atau ibu secara status, tak ada tempat bicara, apalagi mengadu. Wajar jika kemudian lahir generasi bermental "sakit".

Salam hormat pada mereka, para orang tua yang bisa menjadi bagian dari anak-anaknya, mampu bicara dari hati ke hati. Terkhusus para ibu yang sendirian mengasuh dan mendampingi anak-anaknya, tanpa bantuan para ayah yang masih berpikir urusan pengasuhan anak adalah urusan ibunya.

Ayo para Ayah Indonesia, selamatkan anak-anak Indonesia dari kondisi fatherless. Anak-anak itu tak hanya butuh uangmu, tetapi mereka juga butuh kehadiranmu dalam tumbuh kembangnya. Jika bukan kita, berharap pada siapa?

Cibinong, 20 Februari 2024
Seorang Ayah yang Berusaha untuk Hadir

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun